Oleh: H. Tammasse Balla

Tengah marak-maraknya sebuah janji manis dilemparkan bagai jala emas ke lautan jiwa-jiwa rakus akan keberuntungan. “Emas derivat,” katanya, berkilauan seperti purnama di tengah kelam, membawa aroma surga yang menggoda. Awalnya, segalanya tampak begitu sempurna. Taburan keuntungan datang seperti hujan meteor di malam gelap gulita. Tiap rupiah yang ditanam menjelma bunga-bunga emas, mekar di taman harapan. Namun, seperti kebun ilusi dalam dongeng, kilau itu menyimpan duri yang tajam.

Kau dituntun oleh mimpi, tapi siapa yang tahu jika mimpi itu berselimutkan jebakan maut? Dengan bahasa manis bak biduan yang mengalunkan tembang asmara, mereka menuntunmu lebih dalam ke labirin keserakahan. “Tambah modal,” katanya, “untuk keuntungan yang lebih besar.” Bisa membuat kita tak sadar, seperti serdadu tanpa nalar, menyerahkan segalanya. Tabungan, warisan, bahkan masa depan keluarga, semua lebur dalam lingkaran api keserakahan.

Saat fajar pengkhianatan mulai menyingsing, kebenaran datang dengan tamparan yang menyakitkan. Kilau emas yang kau lihat bukanlah cahaya, melainkan bayang-bayang kebakaran jiwa. Untung yang kau kumpulkan dengan senyum manis, kini menjelma buntung yang menggerogoti kewarasanmu. Tak ada lagi kilauan, hanya reruntuhan harapan yang berserakan seperti kaca pecah di jalan raya.

Di depan layar kecil yang kau sebut jendela dunia, angka-angka menari liar, melahap mimpi satu per satu. Ingat, bukan kau saja yang terjerat, ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan jiwa lain yang terperosok di lubang yang sama. Mereka berteriak, tetapi suaranya tenggelam di bawah gemuruh tawa para algojo. “Ini bukan penipuan,” kata mereka, seperti ular yang mendesis di balik rerumputan.

Kau yang dulu merasa menjadi bagian dari permainan besar, kini sadar bahwa kau hanyalah bidak kecil di papan catur para dalang serakah. Untung menjadi buntung, janji menjadi dusta, dan harapan menjadi abu. Apa yang tersisa hanyalah penyesalan yang menggumpal di rongga dadamu. Penyesalan itu menusuk seperti duri mawar, tapi tak ada darah yang keluar, hanya air mata yang mengalir tanpa akhir.

Kisah ini bukan sekadar kisahmu. Ini adalah elegi zaman yang hilang, era di mana ketamakan menjadi raja dan kepolosan menjadi korbannya. “Keuntungan,” katanya, “adalah hak semua orang.” Namun, siapa yang tahu bahwa keuntungan itu datang dengan harga yang lebih mahal dari nyawa? Kau melihat mimpi menjadi nyata, hanya untuk disadarkan bahwa mimpi itu hanyalah bayangan di air, memudar begitu kau mencoba menggenggamnya, bak fatamorgana.

Mereka yang menjanjikan emas tak pernah membawa timbangan. Mereka menjanjikan gunung, tetapi memberimu lembah kelam. Dengan hiperbola dan bahasa manis, mereka menjelma penyair palsu yang memukau audiensnya. Manusia polos yang haus akan kilauan dunia, meminum racun itu seperti anggur dari piala raja.

Kau ingin melawan, tapi siapa yang kau lawan? Para dalang itu tak berwajah. Mereka seperti bayangan di malam gelap, hilang begitu kau mendekat. Apa yang kau punya hanyalah nama kosong yang terukir di kontrak maya, dokumen-dokumen tanpa nyawa. Kau tahu ini, tapi kau tetap mencoba.

Pada akhirnya, apa yang tersisa? Sebuah pelajaran pahit yang menggumpal di benakmu. Tak ada yang bisa kau lakukan selain berbagi cerita, agar tak banyak lagi yang jatuh ke lubang yang sama. Karena pada akhirnya, di dunia ini, yang paling berharga bukanlah emas, tetapi kesadaran. Kesadaran bahwa tidak semua yang berkilau adalah harta, dan tidak semua janji adalah nyata.

“Untung jadi buntung,” bisikmu, sambil menatap ke arah kekosongan, berharap dunia mendengar elegi ini.

(Visited 18 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.