Oleh: Tammasse Balla
Di panggung kehidupan, jabatan adalah topeng gemerlap yang menutupi wajah asli manusia. Saat topeng itu dikenakan, sorotan lampu tertuju padanya, tepuk tangan membahana, dan pujian mengalir bak sungai yang tak pernah kering. Namun, ketika tirai ditutup dan topeng dilepas, seringkali yang tersisa hanyalah kesunyian yang menggema dalam ruang hampa.
Seperti daun yang menari riang kala angin bertiup, manusia dalam jabatan tinggi seringkali terlena oleh pujian dan sanjungan. Orang-orang berlomba-lomba mendekat, menawarkan senyum manis dan jabat tangan erat, cipika-cipik. Namun, apakah itu tulus dari hati, atau sekadar bayang-bayang kepentingan yang menempel pada cahaya kekuasaan?
Ketika musim berganti dan daun gugur ke bumi, demikian pula jabatan yang tak lagi melekat. Orang-orang yang dulu berkerumun kini menjauh, seolah-olah angin telah membawa mereka ke arah lain. Wajah-wajah yang dulu ramah kini berpaling, meninggalkan jejak-jejak ketidakpedulian di atas pasir waktu.
Kekuasaan adalah bayangan yang menipu pandangan, membuat kita lupa akan hakikat diri. Seperti yang diungkapkan oleh Kahlil Gibran, bahwa “Tak ada satu kekuasaan pun di alam ini yang mampu merampas kebahagiaanku.” Namun, banyak yang terperangkap dalam ilusi bahwa kebahagiaan sejati terletak pada tahta dan gelar, padahal itu semua fana dan sementara.
Emha Ainun Nadjib pernah mengingatkan bahwa kepandaian, kehebatan, kekayaan, dan kekuasaan tidak laku di hadapan Allah. Semua atribut duniawi itu hanyalah hiasan sementara yang bisa lenyap kapan saja. Yang abadi adalah nilai-nilai kebaikan dan ketulusan yang kita tanam dalam jiwa.
Saat jabatan melekat, kita sering lupa bahwa itu hanya peran yang diberikan sementara. Seperti aktor di atas panggung, kita memainkan peran dengan sepenuh hati, namun saat pertunjukan usai, kostum dilepas dan kita kembali menjadi diri sendiri. Sayangnya, banyak yang terjebak dalam peran, hingga lupa akan jati diri yang sesungguhnya.
Ketika kekuasaan hilang, barulah kita menyadari siapa teman sejati dan siapa yang hanya menempel karena kilau jabatan. Seperti emas yang diuji dalam api, saat itulah terlihat mana hubungan yang murni dan mana yang palsu. Ini adalah ujian kehidupan yang mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam menilai arti sebuah hubungan.
Jabatan ibarat bayangan yang mengikuti kita saat ada cahaya, namun menghilang saat kegelapan datang. Ia bukanlah esensi diri, melainkan refleksi dari peran yang kita mainkan. Menyadari hal ini, kita diajak untuk tidak terikat pada atribut duniawi, melainkan fokus pada pengembangan diri yang sejati.
Kita harus memahami bahwa jabatan dan kekuasaan hanyalah kamuflase kehidupan. Mereka menutupi sementara siapa kita sebenarnya, namun tidak bisa mengubah inti dari keberadaan kita. Dengan demikian, alangkah bijaknya jika kita tidak terbuai oleh gemerlapnya, dan tetap menjaga jati diri serta nilai-nilai kebaikan dalam setiap langkah perjalanan hidup.
———————————————
Makassar, 23 Maret 2025 M./23 Ramadan 1446 H.
Pk. 19.41 WITA