Oleh: Tammasse Balla
Membaca adalah kebiasaan. Ia tumbuh dari benih yang kecil, lalu menjadi pohon rindang jika dirawat dengan tekun. Kita membaca koran tiap pagi untuk tahu berita dunia. Kita membaca pesan di gawai untuk tahu kabar kawan. Kita membaca menu di rumah makan agar tidak salah pilih santapan. Namun, mengapa kita enggan membaca Al-Qur’an—kitab suci yang lebih mulia dari dunia dan seluruh isinya?
Barangkali, membaca koran terasa ringan karena hanya butuh waktu sebentar. Satu-dua berita, lalu selesai. Namun, membaca Al-Qur’an terasa berat, bukan karena hurufnya yang sulit, melainkan karena hati kita sudah tidak ringan. Ia seakan-akan menjadi beban, bukan santapan jiwa. Padahal, setiap hurufnya bukan hanya bernilai pahala, tapi juga membawa ketenangan yang tidak didapat dari manapun.
Ada yang berkata, “Saya belum lancar membaca Al-Qur’an.” Padahal, Bukankah justru karena belum lancar, maka kita perlu membacanya lebih sering? Bukankah anak kecil belajar berjalan dengan jatuh bangun? Lalu mengapa orang dewasa takut tertatih-tatih dalam membaca ayat-ayat Allah? Ingat, Allah sendiri memberi dua pahala bagi yang terbata-bata membacanya: satu untuk usahanya, satu untuk bacaannya.
Pada bulan Suci Ramadan ini, semestinya Al-Qur’an menjadi teman duduk kita yang paling setia. Ia diturunkan pada bulan ini, untuk dibaca, direnungkan, dan diamalkan. Namun nyatanya, lebih banyak kita habiskan waktu menonton serial Ramadan daripada membuka mushaf suci. Kita hafal nama-nama artis, tapi tak hafal surat-surat pendek yang dahulu diajarkan ibu di tikar sajadah.
Buya Hamka pernah berkata, “Manusia tidak membaca Al-Qur’an karena tidak punya waktu. Pada hakikatnya, mereka tidak punya waktu karena tidak membaca Al-Qur’an.” Waktu terasa sempit, hati terasa sempit, hidup terasa sempit—karena kita lupa membuka jendela ruhani. Padahal, membaca Al-Qur’an adalah membuka jendela itu. Cahaya akan masuk, bahkan pada hati yang paling gelap sekalipun.”
Jangan takut membaca Al-Qur’an. Jangan takut pada lidah yang kaku, jangan takut pada tajwid yang belum sempurna. Yang Allah lihat bukan kefasihan kita, tapi ketulusan kita. Kita bisa belajar tajwid, tapi kita tak bisa berpura-pura ikhlas. Biar pelan-pelan, asal istiqamah. Biar sedikit, asal setiap hari. Karena ruhani juga butuh makanan, sebagaimana jasmani butuh nasi.
Jadi, siapa takut membaca Al-Qur’an? Kita berani membaca koran, majalah, bahkan gosip. Mengapa tidak berani membaca wahyu Allah? Mari jadikan momentum Ramadan ini sebagai titik balik. Kembalilah kepada mushaf. Buka lembar demi lembar dengan cinta. Baca dengan hati yang rindu. Karena saat kita membaca Al-Qur’an, sebenarnya bukan hanya kita yang sedang membaca, tapi Allah juga sedang “menatap” kita. Dalam tatapan kasih-Nya, kita akan menemukan makna hidup yang sesungguhnya.
——————————————
Mahoni Hall, Hotel Claro Makassar,
23 Maret 2025 M./23 Ramadan 1446 H.
Pk. 17.50 WITA