Oleh : Tammasse Balla

Di suatu sudut kehidupan, ketika waktu seperti enggan berlari dan langkah manusia terasa melambat, banyak yang tertegun menghadapi bayang-bayang pensiun. Mereka duduk termenung di beranda usia, menggenggam hari-hari yang dulu gemerlap dengan wewenang dan jabatan. “Post Power Syndrome” pun datang menyelinap, seperti angin senja yang membawa dingin ke dalam jiwa yang kehilangan pegangan. Namun aku dan istriku telah lama bersahabat dengan waktu, membisikkan kepada masa depan bahwa kami tak ingin sekadar menua—kami ingin terus hidup.

Kami menyebutnya University of Life, bukan dalam wujud bangunan marmer tinggi atau menara gading ilmu, tapi dalam bentuk klinik yang kami bangun dari cinta, doa, tetesan peluh dan air mata, serta iman. Inggit Medical Centre bukan sekadar klinik, tapi ia adalah guru yang mengajarkan kami tentang sabar, tentang luka manusia, dan tentang bagaimana tangan bisa menjadi doa saat menyentuh orang sakit. Ia tumbuh seperti pohon yang kami tanam bersama: kami sirami dengan dedikasi, pupuk dengan keikhlasan, dan biarkan daunnya melambai-lambai kepada siapa saja yang datang membawa derita. Hari libur tetap buka, hari Ahad buka terus sampai 24 Jam. Klinik ini tidak mengenal tanggal merah, telah dirancang dengan motto “Peduli Sesama, Sehat Bersama.”

Dulu, ketika usia masih muda dan dunia terasa luas, kami menatap ke depan sambil menggandeng impian. Satu demi satu fondasi klinik itu kami letakkan, tidak dengan batu bata, tetapi dengan peluh dan semangat. Anak-anak kami menyaksikannya—kadang-kadang dengan tak mengerti; sering dengan mata penuh tanya. Namun sekarang, mereka berjalan di jejak itu, menjadi dokter seperti ibunya, dengan nurani dan semangat baja seperti ayahnya. Bahkan menantu pun ikut dalam irama langkah ini, melengkapi simfoni keluarga yang dipimpin oleh panggilan kemanusiaan.

University of Life tidak mengeluarkan ijazah, tapi memberikan pelajaran yang tak pernah selesai. Ia tak mengenal semester, namun setiap peristiwa di dalamnya adalah kurikulum kehidupan. Di sana, kami belajar bahwa kesembuhan bukan hanya urusan farmakologi, tapi juga pelukan, senyum, dan kata-kata yang tidak tertulis di buku teks. Ilmu kedokteran sejati tidak hanya ditemukan di jurnal ilmiah, tapi juga di bisikan doa pasien yang sembuh karena merasa dicintai.

Ketika teman-teman kami mulai bicara tentang dana pensiun, tentang rumah singgah, dan tentang hidup yang melambat, kami justru merasakan detak baru kehidupan. Klinik ini membuat kami muda kembali—bukan di kulit, tapi di hati. Setiap pasien yang datang adalah bab baru dalam buku harian kami. Setiap keluhan adalah teka-teki yang mengajak kami terus berpikir, terus merasa, terus peduli. Kami tidak berhenti bekerja karena usia, tapi terus hidup karena pekerjaan ini adalah bagian dari napas kami.

Kami semangat, karena kami tidak sendiri. Anak-anak kami, buah cinta dan hasil didikan doa, kini bersiap menjadi penerus. Mereka bukan hanya belajar dari bangku Fakultas Kedokteran, tapi juga dari bangku kesederhanaan yang kami wariskan. Kami percaya, suatu hari kelak, mereka akan membawa klinik ini lebih tinggi, lebih luas, dan lebih dalam menjangkau umat. Karena University of Life ini bukan sekadar warisan material, tapi warisan nilai—tentang pengabdian, keikhlasan, dan makna hidup yang lebih dari sekadar jabatan.

Begitulah hidup kami kini: tanpa beban, tanpa kegelisahan akan hari tua. Karena kami tahu, ketika seorang manusia menyerahkan hidupnya pada pengabdian yang tulus, maka Allah akan menjadikan setiap detik dari usianya sebagai amal yang terus mengalir. University of Life adalah bukti bahwa masa pensiun bukanlah akhir, tapi awal dari kehidupan baru yang lebih bijaksana, lebih bermakna, dan lebih abadi.

Manakala suatu hari tubuh kami letih dan butuh beristirahat, biarlah klinik ini tetap hidup. Biarlah ia berbicara dengan bahasanya sendiri—bahasa cinta, bahasa pengabdian, dan bahasa kehidupan.

Di balik setiap ruangan dan lorong-lorong Inggit Medical Centre, tersimpan niat yang tak pernah kami ucapkan dengan lantang, tapi selalu kami bisikkan dalam setiap sujud: jadikan ini ladang amal kami, ya Allah. Klinik ini bukan hanya tempat bekerja, tapi tempat kami menanam benih-benih pahala. Setiap pasien yang sembuh, setiap luka yang mengering, setiap air mata yang berganti senyum—semuanya kami niatkan sebagai amal jariyah keluarga. Kami tidak tahu di mana ujung usia kami, tapi kami ingin ketika ajal menjemput, masih ada amal yang terus mengalir lewat pelayanan yang tak pernah berhenti.

Anak-anak kami tahu bahwa mereka tidak hanya sedang mewarisi bangunan fisik, tetapi juga warisan rohani yang jauh lebih berharga. Mereka tahu bahwa tangan yang merawat adalah tangan yang bisa menjadi jembatan menuju surga. Mereka paham bahwa menjadi dokter bukan hanya tentang ilmu dan keterampilan, tapi tentang menjadi alat kasih sayang Allah di muka bumi. Sejak dini kami tanamkan bahwa klinik ini bukan milik pribadi, tapi titipan Tuhan untuk menjadi jalan kebaikan. Kami bersyukur, mereka menyambutnya dengan hati yang lapang, siap meneruskan dan merawat ladang amal ini dengan cinta dan tanggung jawab yang utuh.

—————————————————-
Makassar, 7 April 2025 M. /8 Syawal 1446 H.
Pk. 05.01 WITA

(Visited 35 times, 1 visits today)
One thought on “University of Life”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.