Oleh : Tammasse Balla
Di suatu waktu yang mengguratkan cahaya lembut di pelipis bumi, seorang lelaki Bugis yang “low profle, but high product”, menuliskan warisannya bukan di atas kertas nilai, tapi di hati manusia. Namanya Ruslan Ismail Mage yang familiar disapa RIM —tapi bagi mereka yang pernah disentuh jiwanya, ia bukan sekadar nama, melainkan suluh. Ia tidak duduk mengawasi lembar jawaban, tidak menorehkan angka di rapor kehidupan. Ia memilih mendidik lewat nyala batin, karena bagi RIM, pendidikan bukan tentang hafalan, tapi tentang keberanian melawan keburukan diri sendiri.
Dalam dunia akademik yang semakin keras kepala mengejar angka dan gelar, ia datang membawa fatwa: bahwa kecerdasan hanyalah kemasan, dan kemuliaan karakter adalah isinya. Ia bukan penjaga nilai, melainkan penjaga nurani. Ia bukan penguji mata kuliah, melainkan penguji makna hidup. Di tengah hiruk-pikuk generasi yang mudah gugup dan cepat menyerah, RIM hadir sebagai pengingat: bahwa musuh sejati bukanlah soal ujian, melainkan rasa malas, ketakutan, dan pengkhianatan terhadap potensi ilahi yang dititipkan dalam diri manusia.

Ia tidak pernah berikhtiar menjadi bintang, melainkan langit yang mempersilakan bintang lain untuk bersinar. Ia tahu betul: tak semua orang harus jadi pemenang, tapi semua orang bisa jadi penunjuk jalan. Ia memilih menjadi pembuat peta, pelukis arah bagi mereka yang tersesat, dan penggali anak tangga bagi mereka yang takut ketinggian. Di balik kesederhanaannya, tersimpan lautan hikmah yang tak kunjung kering. Dari bibirnya tidak lahir jargon, tapi doa. Dari tangannya tidak terbit perintah, tapi undangan menuju perbaikan.
Puluhan bukunya adalah cermin hati yang telah dilap setiap pagi dengan doa dan air mata. Ia menulis bukan untuk terkenal, tapi untuk membuat terang. Karya-karyanya tidak menggurui, tetapi merangkul. Setiap halaman adalah tangga kecil menuju kebangkitan jiwa. Setiap kalimat adalah ayat kecil yang menuntun kita menafsirkan kembali hidup yang terlalu sering kita anggap biasa-biasa saja. Dalam buku-bukunya itu, pembaca akan menjumpai bukan RIM, tapi dirimu sendiri—versi terbaik yang sedang kau usahakan.
Fatwanya sederhana namun sakral: bahwa sukses sejati adalah ketika engkau bisa tidur nyenyak karena telah berlaku jujur, bisa tersenyum karena telah berbagi, dan bisa berjalan tegak karena telah memaafkan. Dalam zaman yang menjadikan prestasi sebagai dewa baru, RIM berdiri tenang, menuliskan peta pulang. Ia tidak sibuk menilai orang lain, sebab seluruh hidupnya adalah upaya memperbaiki diri. RIM tidak akan pernah selesai menjadi guru—karena ia sendiri tak berhenti menjadi murid kehidupan.
—————————————————
Makassar, 2 April 2025 M./
3 Syawal 1446 H. Pk. 11.47 WITA
*Akademisi senior Universitas Hasanuddin