Oleh: Tammasse Balla

Di langit yang merah saga, ada suara retak seperti tulang dunia yang patah. Dentuman tak berasal dari langit, tapi dari dada manusia yang haus kuasa. Israel menabuh genderang pertama—bukan hanya sebuah serangan, tapi serupa pemantik bara yang lama disimpan di tungku sejarah. Gong Perang Dunia III berbunyi, menggema ke palung hati umat manusia, menampar wajah kemanusiaan yang semakin sepi makna.

Iran bukan negeri yang lahir dari ketakutan. Ia adalah angin gurun yang pernah melahirkan peradaban, yang gurat di tanahnya menyimpan darah para syahid dan hikmah para sufi. Ketika api dilempar ke halaman rumahnya, ia tak membalas dengan air mata. Ia menjawab dengan bara, karena diam bagi Iran adalah bentuk penghinaan terhadap sejarahnya sendiri.

Gajah pertama menginjak bumi dengan kaki kekuasaan dan nuklir. Gajah kedua membalas dengan tanduk kebanggaan dan sejarah perlawanan. Mereka tidak berbicara dengan kata, tapi dengan misil dan rudal, dengan serangan udara dan sabotase, dengan janji neraka yang mereka sematkan di setiap peluncuran roket.

Amerika, sang dalang senyap, awalnya berdiri di pinggir panggung. Ia seperti tokoh dalam drama Yunani yang pura-pura buta. Namun, entah apa yang merasuk jiwanya, tiba-tiba ia mengangkat senjata dan menyatu dalam lakon, menyiramkan bensin ke api yang sudah membakar ladang-ladang harapan. Ia berdiri di sisi Israel, seperti pelindung yang membawa bayangan kematian di balik bendera kebebasan.

Di sisi lain dunia, negeri-negeri yang dahulu netral kini mulai menunjukkan gigi. Rusia dan Cina, seperti naga yang lama tidur, membuka matanya. Timur dan Barat seperti dua kutub magnet yang semakin menolak untuk berdamai. Dunia bukan lagi rumah bagi manusia, tapi gelanggang raksasa yang dikuasai oleh para dewa-dewa palsu berkostum pemimpin negara.

Gajah-gajah itu terus bertarung. Mereka tak sadar bahwa tanah yang diinjak adalah tanah manusia biasa—ibu-ibu yang menyusui dalam gelisah, anak-anak yang bermain dalam suara sirine, petani yang menanam doa dalam retak-retak sawahnya. Kancil, si kecil tak berdosa, mati tanpa sempat berlari. Ia tak bersenjata, tak berpolitiik, tapi tubuhnya remuk di tengah pertarungan yang tak pernah ia undang.

Langit mulai hitam bukan karena malam, tapi karena kepulan asap yang menutup cahaya. Laut menjadi garam luka, dan bumi menjadi museum kematian. Dunia tak lagi menyanyikan lagu kasih sayang. Ia hanya mengulang simfoni maut yang digubah oleh ego dan keserakahan.

Di sudut-sudut kamp pengungsian, ada doa-doa yang menggigil. Ada bayi yang menangis tanpa mengerti mengapa langit bersuara seperti neraka. Ada lelaki renta yang memeluk Al-Quran dengan tangan gemetar, bertanya dalam diam: “Tuhan, mengapa kami harus menjadi korban dari pertarungan yang tak kami mulai?”

Kemanusiaan menjadi padang ilalang yang dibakar tanpa ampun. Di tengah kobaran, suara penyair, sufi, dan orang-orang bijak tenggelam. Media sibuk menari dalam kecemasan, politikus menebar janji di atas bangkai, dan para pemimpin dunia lebih sibuk berpidato daripada menyelamatkan nyawa.

Namun, langit tak selalu diam. Dalam diamnya, ia menulis takdir dengan tinta keadilan. Mungkin belum sekarang, tapi setiap darah yang tertumpah akan menjadi saksi. Setiap tangis yang direkam angin akan menjadi bukti di pengadilan semesta. Semesta menyimpan memori penderitaan yang lebih tajam daripada dokumen sejarah.

Gajah yang menang pun tidak tersenyum. Ia menggendong kematian di punggungnya. Gajah yang kalah pun tidak sendu. Ia menjadi legenda perlawanan. Namun, kancil yang mati, tak tertulis namanya di surat kabar. Ia hanya menjadi statistik, padahal jiwanya suci dan tangis ibunya lebih nyaring dari semua ledakan.

Para gajah, tidakkah kau lelah dengan peperangan? Tidakkah kau rindu pada damai yang tak lagi punya alamat? Ingat bahwa dalam.peperangan, kalah jadi abu, menang jadi arang. Jika gajah terus bertarung dan kancil terus mati, siapa yang akan menulis puisi tentang cinta? Siapa yang akan menanam pohon harapan di padang yang tandus oleh dendam? Mungkin dunia tidak perlu pemimpin baru, tapi nurani lama yang dibersihkan dari kerak ego dan keserakahan. Dunia hanya butuh satu hal: nilai kemanusiaan di atas segala-galanya. [HTB]

(Visited 9 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.