Oleh : Tammasse Balla
“Nobody is perfect,” kata orang Barat. Kita di sini punya versinya sendiri: “Tak ada manusia yang luput dari salah dan lupa.” Sejak dulu sebenarnya kita sudah sepakat: manusia bukan malaikat. Namun ironisnya, kita masih sering menuntut manusia lain seperti menuntut kesempurnaan Tuhan—harus benar, harus rapi, harus sesuai dengan selera kita. Padahal kita sendiri masih berantakan urusan niat dan amal.
Di negeri ini, terlalu banyak orang yang takut salah. Takut dikritik. Takut dicaci. Takut dilabeli. Akhirnya banyak yang memilih diam, duduk rapi, dan hanya jadi penonton. Padahal hidup bukan untuk menonton. Hidup itu panggung, bukan tribun. Kalau kita takut salah, jangan-jangan seumur hidup kita hanya jadi penonton dalam film kehidupan orang lain.
Cobalah lihat para tokoh besar, pahlawan bangsa, penemu dunia, atau bahkan pemimpin spiritual. Tidak ada yang kariernya lurus seperti garis penggaris. Mereka semua pernah jatuh, pernah dikecam, pernah salah langkah, tapi mereka tidak berhenti. Mereka terus melangkah meski jalannya tidak sempurna. Karena hidup bukan tentang sempurna, tapi tentang bertumbuh.
Kesempurnaan adalah jebakan yang diciptakan oleh sistem yang ingin segala hal terlihat baik di permukaan. Dunia ini terlalu ramai dengan orang yang pura-pura suci, tapi takut mencoba. Kita butuh lebih banyak orang yang berani salah, tapi tulus dan sungguh-sungguh. Karena dari kesalahan, lahirlah pelajaran. Dari pelajaran, lahirlah kematangan.
Jangan takut berkarya hanya karena takut karyamu dicemooh. Jangan tunggu sempurna dulu baru mau memulai. Kalau menunggu semua tepat, tak akan ada satu pun karya lahir. Mending karya cacat tapi nyata, daripada ide sempurna yang cuma tinggal di kepala. Dunia butuh tindakan, bukan hanya pikiran.
Kalau kau diam terus karena takut salah, kau tidak akan punya jejak. Orang yang tidak pernah salah adalah orang yang tidak pernah berbuat apa-apa. Ia mungkin bersih, tapi tak berarti. Seperti kertas kosong—tak tercoret, tapi juga tak berguna. Sementara kertas yang penuh coretan, meski tak rapi, bisa jadi warisan ilmu bagi generasi berikutnya.
Hidup bukan soal pencitraan, tapi perjuangan. Dunia sudah terlalu penuh dengan orang yang sibuk membangun citra, lupa membangun makna. Tak apa kau dicibir hari ini, asal niatmu lurus. Tak mengapa kau disalahpahami, asal kau tahu jalanmu benar. Biarlah waktu yang akan membuktikan siapa yang benar-benar tulus dan siapa yang hanya ingin terlihat baik.
Tentu saja kita harus berusaha berbuat baik, tapi jangan terlalu perfeksionis sampai-sampai kehilangan keberanian untuk memulai. Seringkali kita terlalu sibuk membersihkan cermin, tapi lupa bercermin. Terlalu sibuk menilai kesalahan orang, tapi takut mengakui luka sendiri. Kesempurnaan bukan tujuan akhir, tapi proses untuk terus belajar dan memperbaiki diri.
Budayawan nasional seperti Emha Ainun Najib pernah berkata: “Manusia itu ibarat surat yang diketik. Kalau ada salah, ya dibetulkan, bukan dibuang.” Dahlan Iskan pun mengajarkan hal serupa dengan caranya sendiri: terus mencoba, terus gagal, tapi tidak menyerah. Itulah cara hidup orang-orang yang tak mengejar pujian, tapi keutuhan makna.
Dengan demikian, berkaryalah meski tak sempurna. Melangkahlah meski tak serapi orang lain. Jangan biarkan ketakutanmu menahanmu dari kebaikan yang seharusnya kau tebarkan. Karena sejarah tidak mencatat mereka yang sempurna, tapi mereka yang berani. Jangan takut salah—takutlah jika tak pernah mencoba. Sebab hidup ini terlalu singkat untuk hanya menjadi penonton.