Jingga seperti bermalas-malasan di serambi ringkihnya, bermaksud menenangkan pikiran setelah satu minggu berjibaku dengan buku-buku pemberi ilmu. “Hasil tak akan memporak-porandakan kelana yang telah aku simpul” bisik hatinya.
Dari sudut tungku dapur rumahnya, tompel dengan koloninya mendatangi Jingga. Berniat mengajak Jingga ke hulu batang air di negeri belingkar.
“Njing! suasana terbaik melewati terik ini adalah membenamkan raga di lubuk batang air” ucap tompel yang diamini kawan-kawannya.
“Mpel tubuh ku masih serasa tak bertulang, seperti malas untuk diperintah bergerak” Jingga duduk dari rebahannya.
” Sudah lah njing! bukankah hasil bukan klimaks dari pencapaian, kau juga kan yang bilang” serbu tompel seperti mendapat angin.
“Jadi kau ke Ibukota menjemput mimpi? Aku melihat Bapak mu melelang lembu di pasar pagi” tompel berujar sembari melahap ubi rebus yang mulai membeku.
Jingga membalas “Bukan aku tapi kita, seperti mufakat kita di sabana gembalaan, kita menjemputnya bersama-sama”
“Njing! Aku sudah muak bergurau dengan buku-buku, kau tau kan nilai ku berapa? Hanya sekedar lepas makan, Njing! Otak ku benar-benar tak mampu” Tompel berkelit akan mufakat yang telah mereka ikrarkan.
Tajam mata Jingga menembus putusan tompel “Mpel! Manusia dibekali perangkat serupa oleh yang kuasa, mengeksplore potensi berwujud positiflah perbedaan sang pejuang dengan sang pemimpi” Jingga lanjut menegaskan “kau mampu, tapi belum terbiasa saja menyadur percikan makrifat dari bangku pemberi ilmu”
“Sudah lah njing, aku sebaiknya membantu bapak mengembang-biakan lembu-lembunya. Sepertinya bapak membutuhkan kekarnya tenaga ku” Kekeh tompel.
“Maksudnya? Kau mau menjadi bapak dari lembu-lembu itu?” Canda Jingga sembari tawa mereka melengking-lengking ke hulu langit.
***
“Jingga anak ku! sepertinya masa itu telah tiba, ayah tak mau mendengar kebulatan tekad mu sumbing sedikitpun. Lusa berjalan lah! Tinggalkan negeri belingkar ini sementara waktu. Keping harapan mu ada disana, pungut mereka! sembahkan kepada ayah dan ibu nak!” Ayahnda menyelimuti keyakinan kepada Jingga.
“Yah… Dari capaian kemaren, apakah ayahnda masih percaya dengan kemampuan anak mu?” Ujar Jingga sedikit kikuk.
“Jingga anak ku, seorang yang dahaga akan pengetahuan kelak dia akan menemukan sumber mata ilmu. Seperti ayah bilang, jangan pernah sanksi akan potensi” Ayah terbaik, ayah yang selalu menguatkan.
“Baik bersiaplah, di telapak kaki ibunda mu bersemayam kekuatan melangkah, peluk dia, berbisik mesra lah! Uraikan, jika engkau akan kembali dengan membawa cahaya yang akan menerangi langkah kakinya menuju surga” Ayahnda bergegas membalikkan badan, agar tidak terlihat buliran cinta mulai menitik dari kelopak mata yang mengkerut.
***
Di subuh yang jauh sebelum siang, seonggok kulit keriput sedang menengadah diatas sajadahnya, telakung usang seperti bercahaya akan doa-doanya. Selepas kedua telapak tangannya mengusap muka tanda harapan subuh telah tuntas dipanjatkan, Jingga mendekap beliau dari belakang,
“…
Ibunda,
Sembilan bulan dikandung badan,
Tertatih pinggul ditopang tangan,
Lapar mu bersembunyi dari makan,
Haus mu semu ludah menelan,
Aku tau,
Engkau tak akan menampakan sendu,
Sedu sedanpun tak pernah merindu,
Lusa,
Sulung bungsu mu menjemput asa,
Berkecamuk raga riuh tak terkira,
Engkau masih juga bersahaja,
Buuuu…
Pancarkan buliran mata mu,
Basuh sekujur tubuhku dengan harap mu,
Yang mulia ibu tersayang,
Mahkota mu pamit ke tanah seberang,
Semoga cahaya terang ku bawa pulang…”
Ibunda hanya mengusap rambut Jingga seperti menitip mimpi, ibunda berujar…
“…
Anak kandung sibiran tulang,
Pengobat hati pelerai demam,
Dimana bumi engkau pijak, disitu lah langit engkau junjung,
Tuai contoh ke yang sudah, panen lah tuah ke yang menang,
Musuh usah dicari, jika bersua pantang di elak,
Jika terkurung hendaknya diluar, jika terhimpit hendaklah diatas,
Alam terkembang jadikan guru,
Sandi agama tetap tegakkan.
.
.
.
(Bersambung).