Oleh: Sumardi*
Hari Minggu pagi itu tidak seperti biasanya dengan kebiasaan selama ini mengayuh sepeda kesayangan untuk sekadar mencari keringat di seputar wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Setelah salat Subuh dan mengaji, saya sengaja santai menikmati secangkir kopi kesukaan lalu melanjutkan membuka laptop untuk menyelesaikan tulisan mengenai followership. Jadwal bersepeda sengaja digeser ke minggu sore sambil berharap semoga tidak turun hujan sebagaimana belakangan ini sering terjadi di sekitar Jakarta.
Perlahan, sorot matahari mulai naik dan menghangatkan tubuh siapa pun yang sedang berada di luar rumah. Tepat pukul 10.00, saya terhenyak oleh teriakan kurir paket memanggil-manggil namaku, pertanda ada barang kiriman datang.
Ya benar, sebuah paket buku berjudul “Pers Madu Racun Demokrasi”. Dengan packaging rapi tertulis nama pengirim Ruslan Ismail Mage atau akrab dipanggil RIM, profil yang tidak asing dan tulisannya selalu menginspirasi saya untuk terus belajar menulis. Kado buku tersebut sungguh sangat istimewa di saat saya berpikir tentang pentingnya asupan nutrisi otak di bidang lain dalam kehidupan birokrasi sehari-hari.
Kalau mengamati judul buku di cover tersebut menyiratkan pesan secara jelas bahwa Buku “Pers Madu Racun Demokrasi” merupakan kado buku untuk jurnalis. Lalu, pertanyaan saya yang tidak berprofesi sebagai jurnalis, “Apakah saya boleh membaca buku ini?”
“Tentu saja boleh,” jawab saya sendiri. Apalagi saat ini telah marak citizen journalism yang memungkinkan setiap warga berkontribusi sebagai seorang jurnalis. Ternyata, setelah saya scanning membaca buku tersebut, isinya sungguh luar biasa: memberi pencerahan untuk memahami kehidupan pers dalam kaitannya dengan demokrasi yang sedang berjalan saat ini.
Sebagai pilar keempat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, saat ini pers tampak mulai kehilangan independensi dan objektivitas dalam menyuarakan demokrasi yang berkeadilan. Hal ini terjadi antara lain karena munculnya sebuah fenomena pemilik media yang juga bertindak sebagai pemain pesta demokrasi. Tentu saja mereka akan mencitrakan diri jagoannya sebagai sosok yang pantas dipilih oleh rakyat atau melakukan black campaign terhadap pesaingnya. Ketika hal ini terjadi, kita tidak dapat menyaksikan kompetisi yang objektif dan jujur berdasarkan kapabilitas pribadi-pribadi para calon pemimpin bangsa ini. Karena itu, kehadiran buku ini menjadi bagian dari upaya menyadarkan anak bangsa untuk berhati-hati, tidak mudah percaya, dan tidak mudah dihasut oleh pemberitaan pers yang memihak.
Tentu saja kita semua berharap pers tidak kehilangan jati dirinya untuk menyampaikan kebenaran dan keadilan sehingga benar-benar mampu tampil sebagai pilar keempat dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, sudah saatnya jurnalis kembali ke khitahnya, yaitu meletakkan prinsip-prinsip dasar dan kaidah jurnalisme untuk memberitakan kebenaran serta menghindari informasi bias. Buku mungil namun penuh makna ini merupakan salah satu wujud teriakan dan pendorong untuk menyuarakan kebenaran pers di tengah-tengah himpitan kapital dari para pemodal.
*Birokrat yang belajar menulis, tinggal di Jakarta.
Oknum pers mungkin bisa saja menjadi tempat menyebarankan hoax.
Yg sya kawatirkan pers dijadikan alat pemerintahan untuk mempertahankan kekuasaan nya.
Semoga buku madu racun demokrasi menjadi mengingatkan pers untuk kembali menyampaikan kebenaran pada publik.