Oleh : Nurhaeda*
Dalam pikiran kita tanah suburlah yang akan menghasilkan produksi yang tinggi, sementara tanah yang miskin hara tentu tidak akan menghasilkan produksi yang baik. Nampaknya mindset seperti itu perlu diubah sekarang, bahwa hal itu tidak berlaku jika ada kemauan dan kesungguhan untuk berbuat. Inilah yang disebut hati-hati dengan pikiranmu karena apa yang kau pikirkan menentukan perbuatanmu.
Waktu itu tepat tahun ke-8 saya bertugas di Desa Lawallu Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan, saya menemukan kasus di mana tanaman padi tidak bisa bertumbuh tinggi di fase seharusnya sudah harus berkembang. Ibarat bayi yang mengalami stunting tentu membutuhkan gizi yang cukup untuk membantu pertumbuhannya. Tidak hanya sekadar makanan saja akan tetapi makanan yang mengandung gizi baik yang mudah diolah dalam tubuh.
Begitupun tanaman padi dikasus ini, semakin diberi pupuk (dalam hal ini pupuk kimia ), makin tambah kerdil karena penggunaan pupuk kimia ibarat racun berkedok hara yang dibutuhkan tanaman dalam bentuk sintetis. Jadi semakin lama penggunaannya semakin merusak hara dalam tanah.
Selaku petugas lapangan pertanian dengan keterbatasan dana, alat, dan lain-lain, tetapi disisi lain penyuluh harus tetap bisa mendorong, membimbing, dan mengarahkan petani agar mampu mengelola usaha taninya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan
kesejahteraan, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup. Saya pun mencoba membantu petani mengamati tanaman padinya dengan melakukan pengamatan awal, yaitu tanaman tidak berkembang, penampakan visual daun berwarna kuning orange kecoklatan, sampai ditarik kesimpulan bahwa gejala seperti ini adalah keracunan zat besi (Fe).
Resiko keracunan zat besi paling tinggi dapat terjadi pada musim kemarau, karena terjadi pemasaman air yang tinggi sebagai akibat dari reduksi air yang rendah dan remineralisasi kandungan Fe karena oksidasi yang rendah. Hal ini terjadi di wilayah kerja penyuluh Desa Lawallu, di mana sawah yang berada
di sebelah barat sangat berpotensi keracunan Fe karena berada sekitar 2 Km dari bibir pantai. Sehingga ketika pasang air laut akan mempengaruhi salinitas (kadar garam yang terlarut dalam air) dan salinitas tanah.
Berdasarkan literatur yang ada bahwa lahan yang banyak dipengaruhi oleh keracunan besi adalah tanah Ultisol, Oxisol, dan lahan pasang surut sulfat masam. Lahan pasang surut dengan jenis tanah sulfat masam di Indonesia diperkirakan sekitar 6,7 juta ha, sehingga apabila lahan ditanami varietas padi yang peka sangat berpotensi menyebabkan keracunan besi pada tanaman. Olehnya itu penerapan penggunaan Kaptan dalam menetralisir keracunan Fe di wilayah binaan penyuluh Desa Lawallu Kecamatan Soppeng Riaja hanya menganjurkan 1 kg/0,01 ha sebagai tahap uji coba yang dilakukan. Di mana Kaptan di aplikasikan 17 hst sekitar 3 hari setelah diamati ada gejala. Setelah aplikasi penampakan tanaman jauh lebih sehat dan hijau, ini terlihat saat padi berumur 25 Hst dan saat panen hasil yang diperoleh cukup baik sekitar 7 ton / ha di mana produksi sebelumnya hanya 5–6 ton / ha.
Selain aplikasi Kaptan, pemupukan berimbang tetap dilakukan sejalan dengan Balittan Litbang Pertanian Kementrian Pertanian dalam Sahabat Petani 2018. Untuk mencegah terjadinya peningkatan kemasaman tanah, petani diharapkan melakukan pemupukan berimbang dengan mengaplikasikan pemupukan berimbang secara proporsional. Langkah tersebut dilakukan untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimal dalam tanah.
*PPL Takkalasi Kabupaten Barru