Oleh: Devi Diany*
Kerisauannya adalah kerisauan kita semua. Roman mukanya yang tak berseri bagai isyarat kesakitan dalam hati yang tak terkatakan. Duduk terpaku di ruang kelas bertopang dagu dan menatap dengan sendu. Ada apa gerangan? Dia adalah generasi muda yang tengah belajar di antara rekan-rekannya untuk menjadi pemimpin masa depan. Apakah hiruk-pikuk perpolitikan tanah air belakangan ini membuat nyalinya menciut. Sementara dia adalah bagian dari generasi pemilik masa depan bangsanya.
Paragraf pertama di atas adalah deskripsi sekilas suasana kurang lebih 50 mahasiswa di ruang kelas salah satu universitas yang sedang menunggu dosennya. Di tengah keceriaan teman-temannya, seorang mahasiswa hanya duduk diam terpaku mencoret-coret kertas selembar di mejanya tanpa terpengaruh orang-orang di sekitarnya. Sepertinya ia hidup di ruang hampa seorang diri.
Jika suasana ruang kelas itu dikaitkan dengan politik kekinian Indonesia, kelompok mahasiswa ini adalah pemilih muda produktif. Mereka menjadi segmen yang unik dan memiliki pengaruh yang sangat penting dalam Pemilu 2024. Mereka menjadi kelompok pemilih dengan proporsi terbesar. Menurut data KPU, kelompok pemilih muda ini dikategorikan pemilih milenial yang berjumlah sekitar 53%.
“Selamat dan semangat siang para generasi pemilik masa depan!” Sapaan sang dosen ketika masuk ke ruang kelas mereka siang itu disambut para mahasiswa dengan kurang bersemangat. Meski ucapan salam yang dilontarkan sang dosen terdengar lantang hingga segerombolan burung gereja yang hendak hinggap di atap gedung kampus langsung hengkang, berbanding terbalik dengan respons para mahasiswanya.
Tak urung hal itu memantik tanda tanya dari sang dosen yang juga seorang penulis buku-buku motivasi kepemimpinan dan konsultan investasi politik Indonesia. Apakah karena hari itu adalah hari terakhir mereka kuliah dan selanjutnya mereka tak akan bersua lagi sehingga mengundang haru, atau mereka lesu karena tidak siap menghadapi ujian semester setelah perkuliahan selesai?
Tak mau berpraduga, sang dosen yang yang dikenal juga sebagai seorang inspirator dan penggerak jiwa ini langsung mencoba mengendalikan suasana menumbuhkan semangat belajar mahasiswanya. Sang dosen kemudian meminta mahasiswanya untuk mengungkapkan keinginan mereka masing-masing terhadap bangsanya, tentang Indonesia dalam sebuah kalimat. Satu per satu para mahasiswa harus berdiri menyampaikan harapannya dengan suara lantang.
“Wahai generasi pemilik masa depan, apa yang Anda inginkan untuk bangsamu? Apa harapan Anda kepada Indonesia?” Demikian pertanyaan sang dosen dengan suara lantang menggelegar memecah suasana.
“Saya ingin anggota parlemen yang transparan dan tidak munafik,” ucap salah seorang mahasiswa sambil mengepalkan tangannya.
“Saya ingin pemimpin sama kata dan perbuatannya,” seru yang lain.
“Saya ingin Indonesia aman dan bersatu,” teriak teman di sampingnya.
“Saya tidak ingin pemimpin dan parlemen bermental korup,” jelas seorang mahasiswi dengan suara nyaring.
“Saya ingin Indonesia damai dan sejahtera,” harap mahasiswa lainnya.
“Saya ingin pemimpin yang jujur dan amanah,” kata yang lainnya.
Namun ada satu mahasiswa yang agaknya tak terusik dengan berbagai harapan yang disampaikan rekannya. Meski rekan-rekannya bersuara nyaring dan lantang menyampaikan berbagai keinginannya, tetapi ia tetap tenang duduk di kursinya. Dia menunduk sambil mencoret-oret sesuatu pada kertas di hadapannya. Apa yang dicoretnya? Apa yang ditulisnya? Sebegitu pentingkah kertas di depannya, sampai ia abai dengan kehadiran dosennya?
Sang dosen sangat terganggu dengan sikapnya yang cuek dan terkesan angkuh dengan ekspresi wajah yang kesal dengan lingkungannya. Seakan tak peduli dengan suara-suara harapan di sekitarnya. Sang dosen kemudian mengalihkan perhatiannya ke mahasiswa cuek itu sambil mengatakan dengan nada sedikit emosional, “Hai, mahasiswa! Kenapa hanya diam dan cenderung tidak menghargai perkuliahan ini?”
Masih saja mahasiswa itu diam tunduk memegang erat selembar kertas seakan ada yang ingin merampasnya.
Kondisi cueknya ini semakin membuat sang dosen merasa tidak dihargai, lalu memberondongnya dengan kalimat-kalimat menusuk jantung. “Apakah ini namanya generasi tanpa harapan, generasi yang tidak memiliki identitas, generasi yang miskin wawasan, generasi yang wajahnya tidak berwajah, atau generasi yang hanya mampu mengembek mengikuti keinginan penguasa dan kapitalisme?”
Rentetan kalimat sang dosen yang ditujukan kepadanya tidak membuatnya bereaksi sedikit pun, hingga sang dosen dengan nada kesal dan marah menyruhnya berdiri di depan kelas untuk membacakan apa yang ditulis dalam kertas selembar itu.
Sesaat kemudian, mahasiswa itu mulai bergerak memperbaiki posisi duduknya bersiap berdiri mengikuti anjuran sang dosen. Pelan ia melangkah ke depan kelas, suasana hening tanpa suara. Jarum pun jatuh bisa kedengaran saking heningnya suasana. Dengan muka yang nampak geram menahan emosi, mahasiswa itu mengangkat dan membentangkan kertas yang dipegangnya. Lalu, ia berteriak lantang kepada rekan-rekannya, “Saya ingin kalian membaca tulisan ini dengan suara keras!”
Seketika suara gemuruh terdengar, “Saya ingin money politic musnah di negeri ini!”
Setelah itu suasana kembali hening. Sambil memegang kertasnya, mahasiswa yang dimarahi sang dosen itu berkata, “Inilah yang membuatku bersedih. Inilah yang membuatku diam selama ini memikirkan nasib bangsaku. Semua harapan-harapan kalian kepada bangsamu, keinginan luhur kalian kepada negeri ini, tidak akan pernah terwujud kalau money politic masih merajalela setiap pemilu. Sebagai mahasiswa harapan Ibu Pertiwi, saatnya kita rapatkan barisan untuk menghancurkan money politic dengan segala bentuknya,” jelasnya laksana berorasi di depan demonstran.
Sang dosen yang dikenal dekat dengan mahasiswanya ini langsung terharu mendengar apa yang disampaikan mahasiswa yang cuek tadi. Tidak pernah memperkirakan mahasiswanya ini begitu prihatin kepada bangsanya, tidak membayangkan mahasiswa yang dimarahi ini begitu dalam memikirkan nasib bangsanya.
Dengan nada terbata-bata, sang dosen menghapus matanya yang basah mendengar narasi mahasiswanya yang menyentuh lalu berkata, “Sahabat-sahabat mudaku pemilik masa depan, kalau saya meneteskan air mata, itu karena saya memahami masa depan bangsa ini akan suram karena money politic masih merajalela. Bangsa ini akan mengalami masalah besar kalau para pemimpin hanya menjadi budak oligarki. Mataku basah membayangkan semakin banyaknya saudara kita walau sudah bekerja keras seharian baru cukup tidak kelaparan esok harinya. Saya menangis membayangkan Ibu Pertiwi dalam keadaan sakit, kondisinya tidak baik-baik saja. Saya menangis karena Ibu Pertiwi sudah kekeringan air matanya menangis melihat anak-anak negerinya begitu rapuh rasa persatuannya. Saya menangis karena Ibu Pertiwi menggigil melihat pemimpin bangsa diperbudak oligarki.”
Itulah diskripsi sebuah video yang menarasikan bahayanya money politic dalam tata kelola pemerintahan yang didesain sang dosen inspiratif Bapak Ruslan Ismail Mage yang akrab disapa Bang RIM. Memang selama satu dasawarsa ini Bang RIM konsisten melakukan kampanye bahaya money politic dalam pemilu. Bahkan trilogi buku politik dalam pemilu yang ditulisnya, tidak lepas dari kampanyenya melawan money politic. Baginya, money politic adalah racun paling mematikan dan terorisme paling menghancurkan sistem pengololaan birokrasi pemerintahan negara dan daerah. Baginya, kalau ada yang pantas disalahkan karena negeri semakin terpuruk, maka yang pantas disalahkan adalah kaum terdidik yang memilih diam membisu dan menjadi bagian dari propaganda politik atas nama kapital.
“Aku tidak memilih diam, tetapi terus bersuara melalui buku-buku karyaku,” jelas Bang RIM ketika menjadi narasumber workshop “Investasi Politik di Era Digital” beberapa waktu lalu di Truntum Hotel, Kota Padang. []
*Jurnalis Kota Padang
Mari kita kubur partai partai(pidato Bung Karno)yg tdk pernah di publish,krn partailah merupakan embrio lahirnya money politics bersama monyet politik