Sebuah status di media sosial membuat hatiku remuk redam. Anakku, yang kedua, menulis dengan jujur tentang perasaannya:
“Aku tidak apa-apa. Aku akan tetap tersenyum dan bahagia. Aku tidak mau sedih atau kecewa dengan keluargaku. Tapi, aku tidak pandai menyimpan rasa. Aku tetap lemah ketika melihat teman-temanku diantar ke sekolah oleh ayah mereka dan dijemput oleh ibu mereka. Mereka memeluk dan mencium tangan orang tua mereka. Dan aku? Aku hanya bisa memandang dari jauh, sementara hatiku bergejolak tanpa arah.”
Air mataku mengalir tanpa bisa dibendung. Hatiku sakit, jauh lebih sakit dari tubuhku yang sedang tidak fit. Betapa inginnya aku berlari memeluk dan mencium anakku, tetapi aku tak berdaya. Menjadi tenaga kerja wanita di negeri orang bukanlah cita-citaku, melainkan keadaan yang memaksaku. Tak ada orang tua yang rela meninggalkan anak-anaknya dengan jarak ribuan kilometer tanpa alasan yang jelas.
Ketika dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, entah jalan mana yang harus kutempuh. Aku tidak bermaksud tidak bersyukur atas segala pemberian-Nya, namun perjalanan untuk menjemput rezeki ini bukanlah perkara mudah. Setiap langkah yang kuambil, meskipun tertatih, adalah untuk sebuah perubahan. Tak mungkin kebahagiaan itu hadir tanpa adanya pengorbanan.
Badanku memang berada di negeri orang, tetapi pikiranku selalu melayang ke kampung halaman. Orang tuaku yang sudah memasuki usia senja kini sering sakit-sakitan. Suamiku bekerja di luar kota sebagai sopir angkut barang, pulang dua hari sekali karena perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, bahkan sering kekurangan. Biaya sekolah ketiga anakku sering kali terabaikan.
Anak pertamaku yang laki-laki kini duduk di bangku SMA, anak keduaku di bangku SMP, dan anak bungsuku, seorang perempuan, sebentar lagi lulus SD. Betapa berat beban yang kupikul. Mencari pekerjaan di kampung tidaklah mudah. Suamiku bekerja keras mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga, melakukan apa saja demi meraih pundi-pundi rupiah. Aku tak tega melihat suamiku berjuang sendirian. Air mata sering kali menetes ketika suami pulang kerja dengan keadaan lusuh dan kumal, kelelahan yang tampak jelas di wajahnya. Namun, aku sembunyikan air mata ini agar tidak terlihat olehnya.
Sudah hampir empat tahun aku bekerja di Hong Kong dan belum sekalipun pulang untuk cuti. Selesai kontrak pertama, sebenarnya aku berniat cuti, tetapi kebutuhan sekolah anak-anakku yang membengkak memaksaku untuk tetap bekerja. Uang cuti dan tiket pesawat yang diberikan majikanku, semuanya kukirimkan ke kampung halaman.
Anak sulungku kini memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Terkadang dia harus menggantikan peran sebagai ayah dan ibu, membantu mengurus keluarga dan adik-adiknya saat suamiku tidak di rumah. Keadaan ini memaksa anak-anakku menjadi lebih mandiri, mengurus keperluan pribadi dan sekolah mereka sendiri. Sebagai seorang ibu, aku hanya bisa mengarahkan dari kejauhan. Meskipun ada orang tua di rumah yang membantu urusan dapur, tetap saja rasa lelah itu sangat terasa. Kegiatan di sekolah yang padat dan setumpuk pekerjaan rumah harus diterima dengan ikhlas.
Di sini, meskipun majikanku baik, tidak cerewet, tidak pelit makanan, dan royal dengan semua kebutuhanku, tenaga dan pikiran terkuras setiap hari. Dalam satu rumah, ada majikan laki-laki, majikan perempuan, dua lansia, dan dua anak majikan yang harus kuurus. Hari-hariku seolah tak kenal waktu. Baru saja matahari bersinar, tiba-tiba saja sudah terbenam. Otakku terbagi antara kesibukan kerja dan pemikiran tentang keluarga di kampung.
Seberapa pun tegar hatiku, aku hanyalah seorang wanita. Ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya, meluapkan segala sesak yang menggumpal. Perjuangan ini masih panjang, tetapi di ujung sana ada tangan-tangan mungil yang tak berdosa. Tangan-tangan yang kelak akan menuntun kedua orang tua mereka ke singgasana surga-Nya. []