Lina, seorang buruh migran Indonesia, bekerja selama satu tahun di rumah keluarga Ho di Hong Kong. Seperti banyak pekerja lainnya, ia mengharapkan masa kerja yang stabil dan penuh manfaat. Namun, harapan itu pupus ketika keluarga Ho mengalami kebangkrutan. Keadaan yang tidak terduga ini membuat Lina harus menerima kenyataan pahit: dia di-terminate oleh majikannya, bukan karena kinerjanya yang buruk, melainkan karena situasi keuangan majikannya yang tidak lagi mampu membayar gajinya.
Keputusan ini membawa dampak besar bagi Lina. Saat menerima berita tersebut, Lina tidak sepenuhnya menyadari betapa pentingnya untuk memanfaatkan momen ini guna mendapatkan nilai dan reputasi yang baik dari majikannya. Ia kembali ke Indonesia, menetap selama beberapa tahun, mencoba membangun kembali kehidupannya di tanah air. Namun, kenyataan ekonomi yang mendesak membuat Lina memutuskan untuk kembali bekerja di Hong Kong.
Setelah pulang, Lina mendaftar kembali di sebuah perusahaan tenaga kerja (PT) dan mulai mempersiapkan dirinya untuk kembali ke Hong Kong. Ia mengurus berbagai dokumen yang diperlukan dan mulai belajar bahasa Kantonis sambil menunggu panggilan kerja dari calon majikan.
Namun, proses ini tidak berjalan semulus yang diharapkan. Waktu berlalu dengan cepat—satu bulan, dua bulan, hingga tiga bulan—tetapi tidak ada satupun majikan yang memilihnya. Meski demikian, Lina tetap berpikir positif, meyakinkan dirinya bahwa mungkin ini belum rezekinya. Dia terus bersabar dan semangat belajar.
Tetapi, setelah sepuluh bulan yang panjang tanpa perubahan, perasaan minder dan ragu mulai merasuki hati Lina. Berkali-kali ia bertanya ke agensi di Hong Kong, tetapi jawabannya selalu sama: “Masih dalam proses pemasaran, belum ada majikan yang memilih. Bersabarlah.” Kata-kata itu yang pada awalnya menenangkan, kini terdengar hampa dan penuh ketidakpastian.
Masalah utama yang dihadapi Lina adalah pandangan para calon majikan. Mereka seringkali menilai buruh migran berdasarkan pengalaman kerja. Meski Lina di-terminate bukan karena kesalahannya, fakta bahwa kontraknya hanya berlangsung satu tahun membuatnya dianggap sebagai buruh yang bermasalah. Calon majikan khawatir hal serupa akan terjadi di masa depan. Di sisi lain, banyak pesaing Lina yang memiliki pengalaman kerja lebih panjang dan lebih stabil, membuat posisi Lina semakin sulit.
Lina pun terjebak dalam dilema yang berat. Jika ia memilih untuk membatalkan proses dan menarik berkasnya dari PT, ia harus membayar ganti rugi yang tidak sedikit. Namun, jika ia tetap bersikeras menunggu pekerjaan di Hong Kong, ia tidak tahu sampai kapan harus bersabar menghadapi ketidakpastian ini.
Dalam kebingungan ini, agensinya menyarankan Lina untuk mempertimbangkan negara tujuan lain, seperti Singapura atau Taiwan. Namun, Lina merasa ragu. Bagaimana dengan waktu dan usaha yang telah ia habiskan untuk belajar bahasa Kantonis? Apakah semuanya akan sia-sia? Pikirannya penuh dengan kebimbangan dan rasa frustrasi.
Namun akhirnya, Lina menyadari bahwa ia tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketidakpastian. Dengan hati yang berat, Lina memutuskan untuk beralih ke Singapura, negara dengan prospek kerja yang lebih cerah. Keputusan ini tidak diambil dengan mudah, tetapi Lina tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik. Bagaimanapun, niat awalnya bekerja di luar negeri adalah untuk mencari penghidupan yang lebih baik, dan dia tidak bisa terus-menerus menunda keberangkatannya. []