Mirna, seorang buruh migran Indonesia, baru saja menapaki kariernya di Hong Kong. Baru enam bulan bekerja, ia belum merasakan gaji penuh karena masih dalam masa potongan. Meski demikian, nasibnya tampak cerah. Majikan Mirna dikenal baik hati, memberinya semua hak-haknya tanpa terkecuali. Bahkan, Mirna sering kali menerima bonus kecil sebesar $100 setiap kali ia hendak berlibur. Ia juga diizinkan membawa bekal dari rumah majikan, dan bahkan sebelum genap tiga bulan bekerja, Mirna sudah diberikan hak untuk menikmati public holiday.

Namun, kadang-kadang, di saat nikmat melimpah, manusia lupa untuk bersyukur. Mirna mulai merasa bahwa semua kebaikan ini adalah hasil dari keberuntungannya semata dan tidak menyadari bahwa mungkin ini adalah ujian dari Allah Swt. Tanpa sadar, Mirna mulai terperosok ke dalam pergaulan yang tidak sehat.

Segalanya bermula ketika Mirna berlibur sendirian di pantai. Di bawah langit cerah, duduk di atas tikar sambil menikmati bekal dari rumah majikan, ia menghabiskan waktu bertelepon dengan keluarganya di kampung halaman. Di tengah ketenangan itu, seorang wanita datang mendekat, memperkenalkan diri, dan tanpa butuh waktu lama, mereka berdua menjadi teman akrab. Nomor telepon bertukar, cerita mengalir, dan pertemanan pun terjalin seolah mereka sudah lama saling mengenal.

Pertemanan ini berlanjut selama beberapa bulan. Wanita yang Mirna anggap sebagai teman baru itu sering mentraktirnya dan bahkan membelikannya pakaian. Mirna yang polos mulai baper dengan perhatian yang diberikan oleh teman barunya itu. Ia merasa mendapatkan sahabat sejati di negeri orang. Namun, di balik semua perhatian itu, ada niat buruk yang tersembunyi.

Satu hari, teman barunya bercerita tentang rencananya di Indonesia. Katanya, dia sedang membangun kontrakan di kampung halamannya, tetapi kekurangan dana. Dengan nada memelas, ia mengaku berniat meminjam uang dari bank di Hong Kong. Di sinilah jebakan itu dimulai. Teman baru Mirna mulai merayu, memintanya menjadi saksi untuk pengajuan pinjaman dengan iming-iming $1.000 sebagai balas jasa. Mirna, yang telah terlena dengan perhatian dan kebaikan palsu itu, setuju tanpa berpikir panjang.

Mereka berdua pun pergi ke bank pada hari yang telah disepakati. Mirna, yang belum memahami betul risiko yang dihadapinya, dengan mudah memberikan KTP Hong Kong dan alamat rumah majikannya. Ia mengisi formulir yang diperlukan dan menandatangani dokumen-dokumen yang disodorkan, yakin bahwa semua akan berjalan lancar.

Bulan pertama dan kedua berlalu tanpa masalah. Namun, memasuki bulan ketiga, teman barunya menghilang tanpa jejak. Angsuran pinjaman tidak dibayar, dan pihak bank mulai mencari Mirna sebagai saksi. Telepon dari bank terus berdatangan, dan puncaknya, sebuah surat dikirimkan langsung ke rumah majikan Mirna. Majikan, tentu saja, tidak terima menjadi sasaran teror dari pihak bank. Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk men-terminate Mirna dan mengharuskannya membayar utang yang sebenarnya tidak pernah ia pinjam.

Mirna kini terjebak dalam masalah besar. Teman yang dulu memberinya perhatian kini hilang entah ke mana, tidak bisa dihubungi, dan alamat majikannya pun tidak diketahui. Mirna harus menanggung beban utang yang bukan miliknya, sementara harapannya untuk bekerja dengan tenang di Hong Kong hancur berantakan.

Kisah Mirna adalah pengingat pahit tentang bagaimana dunia pertemanan bisa menjadi kejam. Kadang-kadang, kebaikan yang terlihat begitu manis di permukaan bisa menyembunyikan niat jahat yang berbahaya. Di tanah rantau, kepercayaan yang diberikan dengan mudah dapat membawa pada kehancuran, dan penting bagi siapa pun untuk tetap waspada dan berhati-hati dalam memilih teman. []

(Visited 4 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Marsih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.