Aku adalah asisten rumah tangga di sebuah keluarga di Hong Kong. Tugasku bukan hanya menjaga rumah, tapi lebih dari itu, aku merawat tiga anak majikan yang masing-masing berada di tahap berbeda dalam hidup mereka. Anak pertama, seorang remaja laki-laki, sedang menjalani tahun pertamanya di SMA. Anak kedua, juga seorang laki-laki, berada di kelas dua SD, sementara anak ketiga, seorang perempuan kecil, baru memulai petualangannya di taman kanak-kanak. Kami berenam tinggal bersama di apartemen yang luas ini, dengan majikan laki-laki dan perempuan yang sibuk bekerja, serta aku yang menjadi penggerak di balik semua keseharian mereka.
Bekerja sebagai TKW adalah perjalanan yang sangat bergantung pada pekerjaan yang dilakukan dan tipe majikan yang dihadapi. Dalam pengalamanku, aku merasa sangat bersyukur. Mengapa? Karena bekerja di luar negeri adalah seperti membuka lembaran baru dalam hidup. Setiap hari adalah pelajaran, mengajarkan kesabaran dan kedewasaan, terutama ketika dihadapkan pada tantangan dan rintangan yang sering kali tidak terduga. Lingkungan baru ini sangat berbeda dari kampung halamanku, mulai dari karakter orang-orang, hingga adat-istiadat dan budaya yang harus kuhormati dan pelajari.
Setiap hari, aku terbangun pukul lima pagi. Setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan bagi seluruh anggota keluarga, termasuk bekal makan siang untuk anak pertama. Di sekolah, sebenarnya ada makan siang yang bisa dibeli dengan iuran bulanan, tetapi lidah anak majikan yang besar tak cocok dengan rasa makanan di sana, sehingga setiap hari, bekal makan siangnya menjadi tugasku. Ini berarti aku harus bangun lebih awal untuk memastikan semuanya siap sebelum mereka berangkat ke sekolah.
Pagi hari adalah waktu tersibukku. Anak pertama dan kedua harus siap dan berangkat sekolah pukul tujuh. Yang pertama berangkat sendiri, sementara yang kedua kuantar ke bawah apartemen untuk menaiki bus sekolah. Sementara itu, anak ketiga yang masih kecil perlu perhatian ekstra. Aku bersyukur jadwal sekolahnya dimulai pukul delapan pagi, memberi sedikit jeda waktu bagiku untuk mengurusnya dengan baik.
Setelah semua anak berangkat, aku bukan berarti bisa beristirahat. Rumah harus dibereskan, pakaian harus dicuci, lantai disapu dan dipel, semuanya harus bersih dan rapi. Lalu, aku harus bergegas ke pasar untuk membeli kebutuhan dapur. Majikan sangat mengutamakan sayuran segar, sehingga belanja harian menjadi rutinitasku.
Menyiapkan makan malam juga menjadi tanggung jawabku, dan ini berarti aku harus pandai mengatur uang belanja serta memastikan semua kebutuhan dapur tersedia. Setelah belanja, aku kembali memasak untuk makan siangku dan anak majikan yang ketiga. Sering kali, anak ketiga rewel dan susah diatur, membuat tidur siang menjadi perjuangan tersendiri. Sementara itu, anak kedua pulang sekitar pukul tiga sore, dan aku harus turun lagi untuk menjemputnya.
Sore hari adalah waktunya untuk memandikan anak-anak. Kadang anak kedua harus kumandikan juga, karena jika dibiarkan sendiri, mandinya bisa memakan waktu lama dan hasilnya tidak bersih. Kamar mandi pun bisa berantakan, dan sering aku biarkan begitu sampai orang tuanya pulang agar mereka mengerti kenapa aku bisa tiba-tiba merasa kewalahan.
Malam hari, majikan pulang kerja sekitar pukul tujuh. Semua anak sudah mandi dan siap untuk makan malam. Sementara mereka menikmati makan, aku harus menyuapi anak ketiga terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa makan sendiri. Setelah makan malam, tugas belum selesai. Aku masih harus membantu anak-anak dengan tugas sekolah mereka. Yang besar sudah mandiri, yang kedua dibantu oleh majikan, dan yang kecil, karena masih TK, aku yang menjadi gurunya di rumah.
Jam sebelas malam, barulah aku bisa merebahkan diri. Meluruskan kaki setelah seharian menjadi ‘pahlawan’ di keluarga majikan. Meski majikanku tidak cerewet dan tidak menuntut banyak, tetap saja pekerjaan ini menuntutku untuk selalu berpikir dan bertindak profesional, dengan tingkat kesabaran yang luar biasa.
Menjadi asisten rumah tangga bukanlah pekerjaan yang bisa dianggap enteng. Aku harus trampil dalam segala hal, dari menjadi pengasuh, koki, hingga guru. Peranku penting bagi kelancaran hidup keluarga majikan, dan tanpaku, mereka mungkin akan kesulitan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan rumah tangga mereka. Itulah yang membuatku bertahan, meskipun kadang lelah dan rindu kampung halaman. Aku tahu bahwa peranku di sini sangat berarti, meskipun tidak selalu dihargai dengan cara yang terlihat.