Sebagai seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong, aku memiliki tanggung jawab yang berat, yaitu menjaga seorang nenek berusia sekitar 76 tahun. Meski usianya belum terlalu sepuh, kesehatannya yang rapuh memerlukan bantuan orang lain untuk setiap aktivitasnya. Sudah satu minggu ini, rutinitasku adalah bolak-balik ke rumah sakit, menjenguk nenek, mengantarkan makanan, menyuapinya, berbincang, dan sesekali memijat tubuhnya agar merasa lebih nyaman. Ia kerap mengeluh tentang kebosanan dan kerinduannya pada rutinitas kecil seperti berjalan-jalan di taman atau bercengkerama dengan teman-temannya. Namun, keadaan memaksanya untuk tinggal di rumah sakit dengan waktu yang entah kapan akan berakhir.

Siang itu, usai menyuapi nenek beberapa suapan bubur, terdengar suara tangis parau dari ranjang sebelah. Awalnya hanya samar, namun lama-kelamaan semakin keras, menarik perhatian seluruh ruangan. Perempuan yang menangis itu masih terlihat muda, mungkin belum genap empat puluh tahun, namun tampaknya mengalami gangguan psikologis. Dengan suara parau, ia berbicara pada dirinya sendiri, tangisnya kian memilukan.

“Aku punya dua anak, punya cucu, tapi sudah enam tahun mereka tak pernah menengokku,” ia terisak, suaranya dipenuhi kekecewaan yang mendalam. “Aku sakit, di rumah sakit ini. Apa salahku kalau aku rindu mereka? Kenapa mereka begitu tega?”

Di ruangan yang sebelumnya sunyi itu, hanya suara tangisnya yang menggema, mengguncang hati. Beberapa perawat dan penghuni ruangan mencoba menghiburnya, menyadari bahwa luka emosionalnya mungkin jauh lebih perih dibandingkan sakit fisik yang dialaminya. Suaminya kadang datang, namun hanya beberapa jam, lalu ia kembali sendiri menanggung kesunyian dan kerinduan yang mengiris hati.

Aku tak mampu menahan perasaan ketika mendengar kisah pilunya. Air mata yang sebelumnya tersembunyi di balik masker akhirnya luruh, membuat bibirku bergetar. Di hati ini muncul rasa bersalah yang begitu dalam, seolah aku juga adalah anak yang tak mampu berada di sisi orang tuanya ketika mereka membutuhkan. Bertahun-tahun merantau, aku datang ke negeri orang dengan harapan bisa membahagiakan dan meningkatkan taraf hidup mereka, namun aku tahu, jarak yang jauh telah merenggut banyak waktu kebersamaan kami.

Melihat perempuan itu, aku teringat pada ibu dan ayah di rumah. Kerap kali aku merasa iri ketika melihat anak-anak yang masih bisa mendampingi orang tuanya—menemani mereka berbincang, minum teh sore, atau sekadar mengantar ke pasar. Namun, kehidupanku menuntut jarak, membuat kebersamaan menjadi hal yang langka. Aku sibuk dengan pekerjaan, urusan dunia yang tiada akhir, padahal di depan mata terbentang jalan kebaikan yang sederhana, yaitu memberi perhatian dan cinta kepada mereka.

Di sela-sela kerinduan yang mengiris, aku berdoa, berharap semua langkah dan peluh ini tak sia-sia. Berharap setiap sujud dan doa yang kupanjatkan akan sampai ke mereka, melintasi jarak dan waktu. Di balik kesulitan ini, aku sadar bahwa kerinduan yang tak terobati ini membuatku semakin dewasa, mengajarkan tentang arti pengorbanan, makna kesetiaan, dan kekuatan cinta yang tak pernah pudar.

Untuk ibu dan ayah, di kejauhan ini, maafkanlah aku yang tak mampu memberi kebahagiaan yang layak. Namun, di setiap doa, dalam hening dan sujud, aku selalu menyebut nama kalian, memohon agar kelak kita dapat berpelukan kembali, tidak lagi terpisah oleh jarak atau waktu, menikmati indahnya surga bersama. Aamiin.


Tears of Longing That Make You Mature

As an Indonesian Migrant Worker (BMI) in Hong Kong, I have a heavy responsibility, which is to take care of a grandmother who is around 76 years old. Although she is not too old, her fragile health requires the help of others for every activity. For a week now, my routine has been to go back and forth to the hospital, visit her, deliver food, feed her, chat, and occasionally massage her body to make her feel more comfortable. She often complains about boredom and longing for small routines such as walking in the park or chatting with her friends. However, circumstances force her to stay in the hospital for an unknown amount of time.

That afternoon, after feeding my grandmother a few mouthfuls of porridge, I heard a hoarse cry from the next bed. At first it was faint, but gradually it got louder, attracting the attention of the whole room. The woman who was crying still looked young, maybe not yet forty years old, but seemed to be experiencing psychological problems. With a hoarse voice, she spoke to herself, her cries increasingly heartbreaking.

“I have two children, I have grandchildren, but they have never visited me for six years,” she sobbed, her voice filled with deep disappointment. “I am sick, in this hospital. What did I do wrong if I miss them? Why are they so cruel?”

In the previously silent room, only the sound of her cries echoed, shaking her heart. Several nurses and residents tried to comfort her, realizing that her emotional wounds were probably far more painful than the physical pain she experienced. Her husband sometimes came, but only for a few hours, then she returned alone to bear the silence and longing that cut her heart.

I could not hold back my feelings when I heard her sad story. The tears that had previously been hidden behind the mask finally fell, making my lips tremble. In my heart a deep sense of guilt arose, as if I too was a child who was unable to be by her parents’ side when they needed her. After years of wandering, I came to a foreign country with the hope of making them happy and improving their standard of living, but I know that the long distance has taken away a lot of our time together.

Looking at that woman, I remember my mother and father at home. I often feel jealous when I see children who can still accompany their parents—accompanying them to chat, drink afternoon tea, or just take them to the market. However, my life demands distance, making togetherness a rare thing. I am busy with work, endless worldly affairs, even though before my eyes lies a simple path of goodness, namely giving attention and love to them.

In the midst of the longing that cuts, I pray, hoping that all these steps and sweat will not be in vain. Hoping that every prostration and prayer that I offer will reach them, across distance and time. Behind this difficulty, I realize that this incurable longing makes me more mature, teaches me about the meaning of sacrifice, the meaning of loyalty, and the power of love that never fades.

To my mother and father, in this distance, forgive me for not being able to give them the happiness they deserve. However, in every prayer, in silence and prostration, I always mention your names, begging that one day we can hug each other again, no longer separated by distance or time, enjoying the beauty of heaven together. Aamiin.

(Visited 16 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.