Aku duduk di bangku besi yang terlihat usang, menghuni sudut kecil di taman kota yang ramai. Di tangan, tergenggam selembar kertas putih dan pena hitam yang siap kutari. Hari ini, aku merasa perlu menulis sesuatu, melepaskan isi hati yang tertahan. Mungkin sekadar menangis dalam diam, bukan karena lemah, tetapi karena lelah. Perjalanan panjang mencari arti hidup, menyesap sedikit napas ketenangan yang sulit kucapai.

Baru saja aku memulai, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berdiri di depanku. Ia mengeluarkan sesuatu dari tasnya, membuyarkan konsentrasiku, merusak gelembung kecil kesendirianku. Penampilannya bersih dan rapi, dengan senyum manis yang mencerminkan kebahagiaan. Di tangannya tergenggam sebuah alat musik tradisional Tiongkok, sejenis suona, yang terbuat dari kayu dengan bentuk menyerupai terompet panjang. Di sebelahnya, ada radio kecil berwarna hitam yang ia letakkan di atas bangku.

Tanpa bicara, ia mulai memainkan alat musik itu, menggerakkan tubuh dan kepala dengan irama yang ia mainkan. Suara merdu yang berdesir, melengking lembut, mengalun seperti irama ombak yang membelai pantai, menyelimutiku dengan tenang. Gerakan tubuhnya, seolah menyatu dengan suara alat musik, menggambarkan kebahagiaan dan kedamaian hidup. Setiap nada terasa hidup, penuh penghayatan, membuatku terlena dalam pesona musiknya.

Mataku terpejam. Aku merasa terbang di atas awan, melayang di samudra luas, dikelilingi deburan ombak, sepi, hanya ada aku dan suara-suara yang mengisi hatiku dengan ketenangan. Rasa damai menjalar, menghapus segala gundah, seolah alam semesta menghentikan waktu hanya untukku. Tak terasa, air mataku mengalir, mengguyur wajahku perlahan, menyatu dengan setiap nada yang ia mainkan. Hatiku lega, meski hanya sesaat.

Sayang, sepuluh menit berlalu, musiknya mereda. “Ah, kenapa kau berhenti secepat itu?” pikirku, masih ingin tenggelam dalam suasana yang ia ciptakan. Lelaki itu membereskan alat musiknya, memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia tersenyum padaku, seolah tahu betapa aku menikmati setiap nadanya. Tanpa kata, ia pergi, melangkah menjauh, menghilang di antara kerumunan orang-orang di taman.

Aku menghela napas, menatap punggungnya yang semakin kecil di kejauhan. “Terima kasih,” batinku. Terima kasih untuk kehadirannya yang singkat namun begitu berarti. Aku percaya, Tuhan mengirimkannya untuk menyusup ke dalam kesepianku, sejenak menemani dan menghiburku. Dia datang di waktu yang tepat, dengan cara yang sederhana, tetapi telah memberikan kedamaian yang jarang kutemukan.

Kutatap kertas putih yang masih kosong di tanganku. Untuk tubuhku, terima kasih telah menemani setiap langkah dalam perjalanan hidup ini. Kamu lelah, aku tahu. Namun, jiwaku membutuhkanmu untuk terus kuat, terus bertahan. Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kehadiran orang-orang sederhana seperti lelaki tadi mengingatkanku untuk menerima diri sendiri, dalam segala kelemahan dan kekuatanku.

Dalam hidup yang penuh misteri ini, aku tidak akan malu dengan diriku sendiri. Aku tak perlu sempurna untuk menginspirasi orang lain. Menjadi diriku sendiri, menerima diriku dengan segala kelebihan dan kekurangan, itulah caraku hidup di dunia ini. Satu-satunya orang yang akan selalu ada untukku adalah diriku sendiri. Dan hari ini, aku bangga, sebab di balik segala ketidaksempurnaan, aku menemukan sedikit ketenangan berkat kehadiran orang yang tak kukenal.


Thank You for the Stranger

I sat on a worn-out iron bench, occupying a small corner in a crowded city park. In my hand, I held a piece of white paper and a black pen ready to be drawn. Today, I feel the need to write something, to release the pent-up feelings in my heart. Maybe just to cry silently, not because I am weak, but because I am tired. A long journey to find the meaning of life, to take a few breaths of calm that are difficult for me to achieve.

I had just started when suddenly a middle-aged man stood in front of me. He took something out of his bag, breaking my concentration, destroying my small bubble of solitude. His appearance was clean and neat, with a sweet smile that reflected happiness. In his hand was a traditional Chinese musical instrument, a type of suona, made of wood with a shape resembling a long trumpet. Next to him, there was a small black radio that he placed on the bench.

Without a word, he began to play the instrument, moving his body and head to the rhythm he played. The melodious sound that rippled, gently shrieked, flowed like the rhythm of waves caressing the beach, enveloping me calmly. His body movements, as if blending with the sound of the musical instrument, depict the happiness and peace of life. Every note felt alive, full of appreciation, making me lose myself in the charm of his music.

My eyes closed. I felt like I was flying above the clouds, floating in the vast ocean, surrounded by crashing waves, quiet, there was only me and the sounds that filled my heart with tranquility. A sense of peace spread, erasing all worries, as if the universe stopped time just for me. Without realizing it, my tears flowed, slowly pouring down my face, blending with every note he played. My heart was relieved, even if only for a moment.

Unfortunately, ten minutes passed, the music died down. “Ah, why did you stop so quickly?” I thought, still wanting to drown in the atmosphere he created. The man tidied up his musical instrument, putting it back in his bag. He smiled at me, as if he knew how much I enjoyed every note. Without a word, he left, walking away, disappearing among the crowd of people in the park.

I sighed, staring at his back that was getting smaller in the distance. “Thank you,” I thought. Thank you for your brief but meaningful presence. I believe, God sent him to infiltrate my loneliness, to accompany and comfort me for a moment. He came at the right time, in a simple way, but has given me a peace that I rarely find.

I stared at the white paper that was still blank in my hand. For my body, thank you for accompanying me every step of the way in this life. You are tired, I know. However, my soul needs you to stay strong, to keep going. No human being is perfect, but the presence of simple people like the man reminds me to accept myself, in all my weaknesses and strengths.

In this life full of mystery, I will not be ashamed of myself. I don’t need to be perfect to inspire others. Being myself, accepting myself with all my strengths and weaknesses, that’s how I live in this world. The only person who will always be there for me is myself. And today, I am proud, because behind all the imperfections, I found a little peace thanks to the presence of someone I don’t know.

(Visited 33 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.