Oleh: Ruslan Ismail Mage*
“Setiap kata dan kalimat laksana binatang liar, jadi ikatlah adab sebelum melepaskannya.” Kalimat inspiratif ini, yang diambil dari buku Ensiklopedia Sang Penggerak, begitu relevan untuk menggambarkan fenomena janji-janji politisi di panggung kampanye. Janji yang seringkali diumbar tanpa kendali, tanpa pertimbangan akan adab, dan sering berakhir sebagai kebohongan belaka.
Apakah politisi yang berbicara di atas panggung benar-benar sudah kehilangan kendali atas ucapannya? Apakah janji-janji itu hanya sekadar kata-kata manis yang dilempar tanpa niat untuk ditepati? Ataukah, dalam benak mereka, rakyat ini memang dilahirkan untuk dibohongi dan dibodohi?
Etikabilitas dan moralitas—yang semestinya menjadi penyaring kata-kata dusta—tampaknya telah tumpul. Di ruang-ruang publik, ambisi dan nafsu kekuasaan telah menjebol jaring pengaman adab. Janji diucapkan untuk diingkari, kebohongan ditutupi dengan kebohongan lain, dan jauhnya kata dari perbuatan dianggap sebagai risiko jabatan.
Janji-janji kosong ini kini menjadi tontonan di etalase publik, bisa diputar ulang kapan saja untuk mengingatkan rakyat akan pengingkarannya. Dari janji tambahan dua juta rupiah bagi seluruh guru hingga tekad mengejar koruptor sampai ke Antartika, semua perlahan memudar menjadi sekadar bahasa kampanye. Ironisnya, koruptor tetap hilir mudik di sekitar lingkaran kekuasaan, tak tersentuh oleh hukum.
Emma Goldman, seorang penulis dan aktivis, pernah berkata, “Politisi akan menjanjikan surga sebelum pemilu dan memberikan neraka setelahnya.” Kalimat ini seakan merangkum potret buram politik kita.
Melihat realitas ini, saya sering membatin: apa jadinya jika kumpulan manusia culas bersatu padu mengendalikan arah bangsa ini? Apa jadinya jika nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan diabaikan oleh mereka yang memegang kendali? Bukankah pepatah bijak pernah berkata, “Jika kapal besar pecah, yang untung hanya ikan besar, sementara ikan kecil akan mati kehabisan makanan.”
Nyatanya, korupsi besar terus berenang bebas, sementara korupsi kecil diburu sebagai pengalih perhatian. Seorang netizen dengan sinis berujar, “Kalau mau menangkap koruptor, tidak perlu sampai ke Antartika. Cukup di kabinet saja, pasti menangkap ikan besar.” Pernyataan ini, walau terdengar satir, menyiratkan kebenaran pahit.
Mengurangi korupsi tidak harus dengan hukuman mati seperti di Cina. Namun, satu hal yang pasti: kita tidak boleh memeliharanya. Sebab, memelihara korupsi sama saja dengan menormalisasi kehancuran bangsa.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memperingatkan, “Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran sambil sibuk dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan proses pemiskinan bangsa terus berlangsung.” Peringatan ini seharusnya menjadi alarm yang terus berbunyi, mengingat korupsi tak hanya merugikan negara, tetapi juga memiskinkan masa depan rakyat.
Sementara itu, Soe Hok Gie pernah mengatakan, “Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi.” Pernyataan ini menggambarkan pentingnya peran pemuda dalam memberantas korupsi. Tanpa keberanian dan idealisme yang kuat, korupsi hanya akan terus menjadi arus yang sulit dibendung.
Hari Anti Korupsi Sedunia pada 9 Desember ini adalah momen penting untuk menyalakan kembali semangat pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Ini bukan sekadar tugas penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh rakyat Indonesia.
Mengutip kata-kata bijak di awal tulisan ini, mari kita ikat kembali adab dalam setiap ucapan dan tindakan kita. Jangan sampai bangsa ini menjadi peliharaan koruptor—melupakan janji, mengabaikan keadilan, dan meninggalkan rakyat dalam kesengsaraan.
*Akademisi, Inspirator, Penggerak, dan Penulis Buku Motivasi dan Kepemimpinan.