Oleh: Ruslan Ismail Mage*
Dalam kehidupan beragama, kita terbiasa menghormati sosok ustaz, dai, atau penceramah sebagai figur yang mencerahkan. Namun, bagaimana jika tampilannya tidak sesuai dengan kelakuannya? Walau berbalut serban dan jubah, apakah pantas menyebutnya ustaz jika perilaku dan ucapannya jauh dari adab yang diajarkan agama?
Dalam bahasa Indonesia, ustaz berarti seorang guru atau pendidik yang dihormati dalam agama Islam. Sementara itu, seorang dai atau penceramah adalah mereka yang memiliki pengetahuan mendalam tentang Islam dan berperan memberikan bimbingan spiritual kepada umat. Namun, bagaimana jika lidah yang seharusnya menyampaikan kebijaksanaan justru menjadi alat untuk mencela, menghina, atau merendahkan orang lain?
Bukankah seorang dai yang baik semestinya sudah memahami dan mengamalkan Surat Al-Hujurat ayat 11:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).”
Ayat ini jelas melarang perbuatan mencela, meremehkan, atau mengolok-olok orang lain. Jika ayat ini sudah khatam dipahami, lantas, bagaimana mungkin seorang yang menyandang gelar ustaz atau dai bisa melontarkan ucapan yang melukai perasaan?
Saat Lidah Kehilangan Kendali
Lima tahun terakhir, eksistensi sebagian sosok berjubah ini lebih layak disebut sebagai pembicara. Terkadang, lidah mereka “keseleo” di atas panggung, lepas kendali tanpa mempertimbangkan dampaknya pada hati orang lain.
Salah satu contoh yang menjadi perhatian publik adalah kasus viral seorang pembicara dalam forum pengajian yang melecehkan seorang penjual es teh. Dengan nada merendahkan, ia berkata:
“Es teh kamu masih banyak atau tidak? Masih, ya sana dijual. Kamu jual dulu, nanti kalau belum laku, ya sudah, takdir.”
Seolah belum cukup, ia menambahkan dengan kata, “Goblok.”
Kamera yang menyorot wajah penjual es teh—pria sederhana yang menjunjung kayu alas dagangannya di atas kepala—menciptakan momen memilukan. Video itu pun viral, mengundang komentar pedas dari netizen.
“Bisa jadi sandal jepitmu lebih mahal dari beban di atas kepala penjual es teh itu, tetapi ia telah berjihad menghidupi keluarganya,” tulis salah satu netizen.
Pertanyaannya, kitab apa yang dibaca sehingga perilaku mencela dan menghina sesama dianggap wajar? Apakah ribuan permintaan maaf mampu menyembuhkan luka hati yang terkoyak oleh gigitan lidah?
Lidah yang Liar
Inilah alasan mengapa judul tulisan ini berbicara tentang lidah sebagai binatang liar. Kata dan kalimat, jika dilepaskan tanpa kendali, bisa menjadi alat penghancur yang melukai hati dan jiwa orang lain. Luka fisik mungkin sembuh, tetapi luka hati akibat ucapan bisa membekas sepanjang masa, bahkan mereinkarnasi menjadi kebencian yang tak termaafkan.
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani pernah berkata, “Aku lebih menghargai orang beradab daripada orang berilmu. Kalau hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia.” Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa ilmu tanpa adab adalah bencana.
Menghinakan dan Memuliakan
Namun, di balik luka yang disebabkan oleh lidah liar, hadir orang-orang baik yang membawa penyembuhan. Salah seorang netizen yang melihat video tersebut di depan Ka’bah langsung berjanji memberangkatkan penjual es teh itu ke Tanah Suci untuk menunaikan umrah.
“Sampaikan salamku kepada seluruh ayah yang tidak pernah lelah berjihad menghidupi keluarganya,” pesan netizen itu.
Begitulah cara Allah Swt bekerja. Penjual es teh yang dihina di hadapan umum dimuliakan-Nya dengan rezeki tak terduga. Sementara itu, sang pembicara, meskipun berjubah, justru dihinakan oleh ucapannya sendiri.
Lidah memang binatang liar. Sebelum melepaskan kata-kata, ikatlah dengan adab. Sebab, luka akibat ucapan sering kali lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Mari belajar menjaga lidah, karena ia adalah cermin hati dan jiwa kita.
*Akademisi, Inspirator, Penggerak, dan Penulis Buku Motivasi dan Kepemimpinan.