Oleh : Tammasse Balla

“Sebuah Renungan Tentang Kasih Sayang dan Pengabdian”.

Di antara segala profesi yang lahir dari tangan manusia, ada satu profesi yang paling dekat dengan jantung kehidupan, yaktu dokter. Mereka adalah para penjaga cahaya, yang berdiri di perbatasan antara harapan dan keputusasaan, memegang nyawa manusia dengan kelembutan sekaligus ketegasan.

Seorang dokter tidak hanya mengobati luka, tetapi juga merawat jiwa. Ia tidak sekadar mempelajari anatomi tubuh, tetapi juga memahami bahasa kesedihan yang tersimpan di balik sorot mata pasiennya.

Ada satu profesi yang diberi hak istimewa oleh Allah untuk mengutak-atik organ tubuh manusia, menyentuh organ yang paling rapuh, dan menyusun ulang bak puzzle harapan yang hampir pudar. Profesi itu adalah dokter, sang pemegang amanah kehidupan.

Di Kendari, Sulawesi Tenggara, sepasang Dokter Gigi menyaksikan putranya kesayangannya, Galby (7 tahun) tumbuh dengan cara yang berbeda. Bukan dengan langkah yang gegas, tetapi dengan dunia yang penuh warna dan suara yang tidak bisa selalu dipahami oleh banyak orang. Anaknya mengidap autisme (ADHD), dan sepasang dokter gigi itu tahu bahwa cinta orangtua tidak cukup—ia harus mencari ilmu untuk menjadi cahaya bagi buah hatinya.

Dengan demikian, ia menempuh perjalanan ke Makassar, ke tanah yang telah melahirkan banyak dokter ahli. Ia memilih Fakultas Kedokteran Gigi Unhas untuk menempuh PPDS, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk anaknya. Sambil menyelam, ia minum air; sambil belajar menjadi ahli, ia mencari penawar bagi buah hatinya.

Di kota itu, angin membawanya pada satu nama yang sering disebut-sebut dalam bisik-bisik harapan para orang tua yang anaknya lahir dengan dunia yang berbeda. Seorang dokter ahli saraf bertangan dingin, yang bukan hanya mengobati dengan ilmu, tetapi juga dengan hati.

Dialah Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, Sp.S., Subsp. N.R.E.(K), familiar disapa Dokter Jum —seorang dokter yang tidak hanya membaca gelombang otak pasiennya, tetapi juga memahami ritme jiwanya. Namanya menjadi legenda di antara mereka yang datang membawa anak dengan gangguan neurodevelopmental, mencari harapan yang agak sulit ditemukan di tempat lain.

Setiap hari, dokter gigi itu membawa anaknya ke Klinik Inggit Medical Centre di bilangan BTP Makassar. Di klinik itu, ilmu bertemu dengan kelembutan, terapi bertemu dengan kasih sayang, dan pengobatan menjadi lebih dari sekadar prosedur medis—ia menjadi seni menyentuh jiwa.

Anak itu, Galby yang sulit mempercayai sentuhan asing, selalu merajuk sebelum diterapi. Ia suka bagkan mau tidur di pangkuan Dokter Jum. Sebelum tangannya menyentuh tubuh, ia menyentuh hati. Sebelum berbicara dengan ilmu, ia berbicara dengan cinta.

Anak itu tidak mau diobati sebelum ia tidur di pangkuan sang dokter. Seakan-akan ada bahasa rahasia yang hanya dimengerti oleh mereka berdua—seorang anak yang hidup dalam dunianya sendiri dan seorang dokter yang mengerti bahwa kesembuhan bukan hanya soal obat, tetapi juga rasa aman.

“Pasien bukan hanya tubuh yang harus dirawat, tetapi juga jiwa yang harus dipeluk,” begitu prinsip Dokter Jum. Ia memahami bahwa banyak luka di dunia ini yang tak terlihat oleh mata, tetapi terasa dalam kesunyian.

Ia tidak hanya menjadi dokter, tetapi juga ibu bagi mereka yang kehilangan pegangan. Tangannya, yang telah bertahun-tahun menyusun strategi neurorestorasi, kini menjadi tempat istirahat bagi anak-anak yang tak mengenal dunia dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang.

Di antara suara mesin medis yang berbunyi, ada kehangatan dalam ruangan itu. Setiap terapi yang diberikan bukan sekadar rangkaian prosedur, tetapi doa yang dipanjatkan dalam bentuk ilmu.

Sang dokter gigi dari Palu menyadari bahwa ia telah menemukan lebih dari sekadar seorang dokter untuk anaknya—ia telah menemukan seseorang yang memahami bahwa setiap manusia, sekecil apa pun, berhak mendapatkan perawatan yang tidak hanya menyentuh tubuh, tetapi juga jiwa.

Nama Dokter Jum terus bergema, bukan karena ia memiliki tangan dingin yang mampu menyembuhkan, tetapi karena ia memiliki hati yang mampu memahami. Ia tidak hanya dokter bagi mereka yang mencari kesembuhan, tetapi juga pelita bagi mereka yang hampir kehilangan harapan. (Makassar, 5 Februari 2025
Pk. 10.25 WITA)

(Visited 16 times, 8 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.