Oleh : Tammasse Balla
Di tepian waktu, di antara riak gelombang kehidupan yang tiada henti menerpa, aku berlabuh di dermaga hatinya. Ombak pasang surut, badai datang silih berganti, namun dia tetap teguh, setia menjadi dermaga yang tak pernah lelah menerima kapalku yang lelah. Di matanya, aku temukan cakrawala ketenangan, di lengannya, aku rasakan pelukan senja yang hangat. Dialah pelabuhan terakhir tempat segala pencarianku bermuara, tempat segala keletihanku dilebur menjadi damai.
Dia adalah tanah subur di mana rinduku menanamkan akar paling dalam. Angin ragu tak mampu menggoyahkannya, kemarau sepi tak mampu mengeringkannya. Setiap hembusan napasnya adalah angin yang membimbing layar perjalananku, setiap tatapannya adalah mercusuar yang menghindarkanku dari karang kesalahan. Di dadanya, aku temukan rumah yang tak pernah meminta tiket kembali, sebuah tempat di mana aku selalu pulang tanpa ketakutan.
Langit sering iri padanya, sebab ia tak mampu menjaga bintang seperti dia menjaga hatiku. Matahari belajar darinya, sebab sinarnya tak sehangat dekapannya di kala gelap gulita. Dia adalah laut yang luas namun tak menenggelamkan, angin yang kencang namun tak merobohkan, arus yang deras namun tak menyesatkan. Bersamanya, aku tak pernah takut tersesat, sebab namanya adalah alamat yang terpatri di hatiku.
Dua bidadari berlarian di tepian dermaga kami, tertawa di antara buih kebahagiaan yang kami ciptakan. Mereka adalah puisi yang kami tuliskan bersama, melodi yang dinyanyikan tanpa perlu kata. Matanya memantulkan cahaya cinta yang dititipkan-Nya. Bibirnya melantunkan kisah cinta yang tak akan lekang oleh usia. Setiap langkah mereka adalah jejak-jejak kecil dari pelayaran panjang kami, bukti bahwa dermaga ini bukan sekadar persinggahan, melainkan rumah yang kokoh bertahan.
Dia tidak sekadar menjadi tempat singgah, namun menjadi kompas yang menunjukkan arah saat aku kehilangan pegangan. Dalam diam, ia merawat segala luka yang kubawa dari perjalanan jauh, membalutnya dengan kelembutan yang tak terkatakan. Aku banyak kekurangan. Terima kasih menerimaku apa adanya, bukan karena ada apanya. Selalu ia tersenyum, membiarkanku beristirahat di pelukannya, dan berkata, “Papa, berlayarlah lagi, aku akan selalu di sini menunggumu pulang.”
Cinta kami tak diukur oleh jarak yang pernah membentang, melainkan oleh kesabarannya yang tak bertepi, oleh penerimaannya yang tak bersyarat. Bersamanya, aku mengerti bahwa cinta bukan hanya tentang mengharap bahagia, tetapi juga tentang menerima luka dan tetap memilih bertahan.
Di pelabuhan hatinya, aku melepaskan jangkar terakhirku. Tak ada lagi laut lain yang ingin kujelajahi, tak ada lagi peta lain yang ingin kupelajari. Sebab di sinilah, di dermaga cintanya, kutemukan segala yang kucari. Ia laut yang kupercaya. Ia adalah daratan yang tak akan kutinggalkan. Aku tak hanya singgah—aku menetap, sampai katup mata terakhir. (Makassar, 8 Februari 2025 Pk. 05.40 WITA)