Dalam kamus bahasa Bugis, kata madduppa secara harfiah berarti menyambut atau penyambutan dan menjemput atau penjemputan. Objek penyambutan atau penjemputan adalah tamu, sahabat, atau keluarga yang baru kembali dari rantauan (lazim disebut: madduppa tau pole).

Madduppa terkadang biasa juga dilakukan pada acara seremonial kunjungan pejabat negara atau daerah dengan cara penyajian atraksi seni budaya setempat. Madduppa yang sifatnya lebih heroik lagi biasa terjadi pada euforia atau selebrasi kemenangan setelah mengikuti ajang kontestasi/kompetisi dalam menyambut tim pemenang dengan melakukan konvoi arak-arakan keliling kampung.

Kesakralan acara madduppa oleh orang Bugis yang nyaris setiap hari diselenggarakan yaitu penyambutan mempelai pengantin laki-laki yang hendak menuju prosesi ijab kabul atau hendak menuju pelaminan bersama pasangannya.

Madduppa pada hakikatnya adalah sikap penghormatan dan penghargaan atau takzim penuh hormat kepada delegasi tamu, tim atau pembesar yang disambut. Madduppa bisa juga diasosiasikan sebagai perasaan senang dan bahagia, takjub dan ungkapan syukur atas kunjungan kedatangan tamu, kerabat, atau pertautan keluarga pada acara walimah.

Sedangkan pemaknaan kata keténg yaitu bulan sabit yang baru muncul atau hilal yang telah terbit di ufuk barat. Terbitnya hilal sebagai pertanda bahwa penanggalan tahun Hijriah telah berganti setiap 29 atau 30 hari dalam sebulan. Mengakhiri bulan Sya’ban atau dengan kata lain menjemput bulan Ramadan dilakukan berdasarkan versi masyarakat lokal yang bersumber dari tradisi leluhur dan tidak bertentangan dengan syariat agama Islam. Madduppa keténg bagi masyarakat lokal Barru dikhususkan setiap kali menjelang terbitnya hilal Ramadan.

Madduppa keténg dalam menyambut bulan Ramadan pada umumnya dilakukan dengan cara menyelenggarakan perjamuan makan siang atau dinner bersama pada hari-hari terakhir di bulan Sya’ban hingga sahur berjamaah pada dini hari memasuki siddi ompo’na uléng ramalang. Tradisi memberi makan dalam mengawali bulan Ramadan biasa juga dilaksanakan pada perjamuan buka puasa bersama di hari pertama.

Madduppa keténg merupakan bagian dari kegembiraan umat Islam dalam menyambut kedatangan bulan Ramadan. Dalam HR. Ahmad, Nabi Muhammad saw bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.

Menghidupkan kebiasaan madduppa keténg di masyarakat adalah sebagai bentuk dalam menjalankan perintah-perintah agama. Madduppa keténg sebagai upaya membuka pintu-pintu kebaikan dan mengharap rida Allah Swt. Kegiatan di dalamnya berupa memberi makan tak lepas dari anjuran agama untuk bersedekah makan kepada sesama manusia.

Sejalan dengan pemikiran founder Sipil Institute, Ruslan Ismail Mage (2023), mengulas keutamaan bersedekah dalam bentuk memberi makan lebih mulia daripada mendirikan masjid. RIM menilai bahwa bersedekah yang diimplementasikan dalam memberi makan kepada sesama manusia berarti memberi kehidupan, mengalirkan energi penggerak dan kekuatan kepada tubuh untuk tetap menjaga rumah Tuhan di hati.

Kearifan lokal madduppa keténg mengajarkan kepada kita untuk setiap waktu berbagi, terlebih lagi ketika pada bulan Ramadan untuk lebih banyak bersedekah. Mengutamakan bersedekah makan pada saat buka puasa berjamaah di bulan Ramadan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. Kebiasaan madduppa keténg di kalangan masyarakat Barru akan mengantarkan kepada sikap empati untuk bersedekah makan kepada sesama.

Esensi madduppa keténg sesungguhnya adalah perwujudan kegembiraan dalam menyambut, menjemput bulan mulia dan bulan pengampunan yang telah disiapkan oleh Allah Swt. Kemuliaan bulan suci Ramadan telah membantu umat Nabi Muhammad saw untuk memperoleh berbagai rahmat dan karunia dari Allah Swt.

Berkumpul bersama sahabat, para tetangga dan kerabat keluarga dalam madduppa keténg akan memberikan nilai perhatian lebih dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt serta muhasabah diri atas amalan yang dilakukan dalam setahun.

Kelaziman madduppa keténg menjadi sarana persiapan meraih pembiasaan dalam memberi makan pada bulan agung ini. Para leluhur masyarakat orang Barru telah mewariskan suatu hajat madduppa keténg yang sangat relevan dengan ajaran Islam yang dianut masyarakat Barru sehingga menjadikannya sebagai golongan umat pemurah dan rahmat bagi alam.

Marhaban ya Ramadan. Hilal Ramadan menjadi pertanda bahwa legacy madduppa keténg akan kembali meramaikan suasana pengakhiran bulan Sya’ban menuju merindukan saum Ramadan. Semoga kita semua dipertemukan bulan Ramadan tahun 1446 Hijriah dan bulan-bulan Ramadan berikutnya.

Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’ban wa ballighna Ramadhan. []

Barru, 20 Sya’ban 1446 Hijriah
*Warga Bengkel Narasi Indonesia, Jakarta.

(Visited 169 times, 2 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.