Oleh: Tammasse Balla
Ramadan kembali menyapa. Bulan yang penuh rahmat; setiap jiwa berlomba-lomba mencari rida-Nya. Di sudut-sudut kota, di gedung-gedung megah, di hotel berbintang, di dalam aula yang dihiasi lampu-lampu gemerlap, orang-orang berpakaian rapi berkumpul dalam satu meja panjang. Piring-piring emas berisi hidangan lezat tertata rapi, kurma dari negeri jauh tersaji di atas piring kristal, sementara di ujung meja, gelas-gelas tinggi menanti sentuhan jemari halus untuk mengangkatnya dengan takzim.
Mereka menyebutnya Buka Puasa Bersama, sebuah tradisi yang telah mengakar, menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai ibadah. Namun lihatlah, siapa yang duduk di kursi-kursi kehormatan itu? Para pejabat dengan jas mahalnya, para pengusaha dengan senyum penuh gengsi, para akademisi yang sibuk berbincang tentang teori kehidupan, dan para pemuka masyarakat yang berkhutbah dengan kata-kata megah. Mereka tertawa, saling memanjatkan doa, seolah-olah kebersamaan ini adalah wujud kepedulian, padahal hanya sebatas seremonial.
Di sudut lain kota, seorang anak yatim duduk bersila di pelataran masjid, menatap cahaya yang merayap di lantai marmer. Perutnya melilit, tangannya menggenggam sepotong roti kering yang tadi siang diberikan seorang dermawan di tepi jalan. Ia tidak menerima undangan ke jamuan besar itu, sebab namanya tidak tercatat dalam daftar tamu penting. Ia bukan seorang pemuka, bukan seorang pejabat, bukan seorang yang bisa memberikan keuntungan dalam pergaulan sosial. Ia hanya seorang bocah kecil yang lapar, yang berharap sepotong kurma juga sampai ke tangannya.
Begitu pula di gang-gang sempit, di rumah-rumah tua yang dindingnya mulai lapuk. Ada seorang ibu tua renta, duduk sendiri di kursi bambu, menatap lampu-lampu kota yang menyala terang. Ia pernah muda, pernah kuat, pernah bekerja untuk anak-anaknya yang kini entah di mana. Kini, dalam usia senja, ia berbuka dengan air putih dan nasi sisa sahur tadi subuh. Tidak ada yang mengundangnya ke pesta berbuka puasa, tidak ada yang mengingatnya dalam deretan nama penting di daftar undangan. Ia adalah bagian dari mereka yang terlewatkan.
Tidakkah kita bertanya pada diri sendiri? Untuk siapa sebenarnya buka puasa bersama itu diadakan? Untuk kebersamaan atau sekadar untuk menjaga citra? Untuk ibadah atau hanya untuk memastikan nama kita tetap terukir dalam lingkaran sosial yang gemerlap? Ramadan seharusnya menjadi bulan untuk berbagi, tetapi kita justru memilih untuk berbagi dengan mereka yang sudah kenyang.
Lihatlah bagaimana Nabi Muhammad SAW berbuka. Dengan sebutir kurma, dengan seteguk air, dengan hati yang bersih dan kasih yang melimpah. Lihatlah bagaimana para sahabat dahulu memberi. Mereka tidak mengundang orang-orang kaya ke jamuan, tetapi mereka membawa makanan ke rumah-rumah yang kelaparan. Mereka tidak memilih-milih tamu berdasarkan pangkat, tetapi berdasarkan kebutuhan.
Seandainya buka puasa bersama adalah ladang pahala, mengapa ia lebih sering tumbuh di meja-meja mewah dan bukan di dapur mereka yang nyaris kosong? Seandainya berbagi adalah wujud cinta kasih, mengapa ia lebih sering disalurkan kepada mereka yang tidak benar-benar membutuhkan? Kita telah membiarkan tradisi ini kehilangan makna, menjadikannya sekadar rutinitas sosial yang semakin jauh dari esensi Ramadan.
Malam ini, di sudut kota, seorang anak kecil menatap bintang-bintang yang berkerlip di langit. Ia membayangkan meja panjang yang penuh dengan makanan, tetapi di sana, tidak ada kursi untuknya. Barangkali, ia bukan bagian dari yang diundang. Barangkali, ia hanya bagian dari yang selalu terlupakan.
Ramadan akan terus datang dan pergi. Namun, kita yang menyebut diri sebagai umat yang peduli, harus bertanya: Apakah buka puasa kita masih tentang berbagi, ataukah hanya sekadar pesta yang salah sasaran? Nah, lho!!!!
————————————————-
Makassar, 16 Maret 2025 M./16 Ramadan 1446 H.
Pk. 17.08 WITA