Oleh: Tammasse Balla

Di sudut semesta, dalam pelukan waktu yang tak terbaca, ada berlian yang lahir dari gelapnya perut bumi. Ia tak meminta cahaya, tak mengemis pengakuan, hanya berserah diri pada proses yang mengasahnya. Panas membakarnya, tekanan menghimpitnya, tapi ia tak pernah retak. Berlian mengerti, luka dan derita bukanlah musuh, melainkan tangan halus yang mengukirnya menjadi cahaya.

Di tanah yang basah oleh iri dan cemburu, berlian tetap berpendar. Ia ditimbun lumpur prasangka, ditutup debu fitnah, tapi kilau tak bisa disembunyikan. Ia hanya diam, tak berteriak membela diri, karena tahu bahwa waktu adalah hakim yang paling adil. Setiap tetes hujan yang menyentuhnya, membangkitkan auranya. Setiap goresan, semakin menajamkan kilaunya.

Ada yang ingin menguburnya, menutupi sinarnya, berpikir bahwa kegelapan bisa melumpuhkannya. Mereka lupa, berlian tak butuh sorotan lampu untuk berkilau, cukup dengan setitik cahaya, ia akan memantulkannya ke segala arah. Bukankah matahari tak pernah meminta dunia untuk mengakui sinarnya? Begitu pula berlian, ia hanya ada, tanpa harus menjelaskan keberadaannya.

Di antara bebatuan yang berisik mencari pengakuan, berlian tetap hening. Ia tak menuntut penghormatan, tak butuh sanjungan. Justru semakin ia diabaikan, semakin ia bernilai. Bukankah yang paling berharga selalu tersembunyi? Hanya mereka yang mau menggali dan berlelah payah yang akan menemukannya.

Ada yang berkata bahwa berlian sombong karena ia tak menoleh pada caci maki. Namun, bagaimana mungkin berlian mendengar suara-suara sumbang, sedangkan jiwanya telah ditinggikan oleh waktu? Ia tahu bahwa kebesaran tak diukur dari seberapa banyak ia berbicara, melainkan dari seberapa tenang ia menghadapi badai.

Di depan gemerlap dunia, berlian tak silau. Ia tak berubah meski digenggam oleh raja atau dilempar ke tanah. Nilainya tak ditentukan oleh tangan siapa yang memegangnya, melainkan oleh apa yang telah ia lewati. Ia telah terbakar, terhimpit, dan dihancurkan, tapi justru itulah yang menjadikannya abadi.

Orang-orang berbicara di belakangnya, tapi ia tak berbalik. Berlian paham, yang berjalan di garis depan selalu jadi bahan pembicaraan. Ia tahu bahwa menjadi istimewa berarti menjadi sasaran, dan menjadi bercahaya berarti menarik bayangan. Ia tak gentar sedikit pun. Cahaya tak pernah takut pada gelap.

Tak semua orang bisa menghargainya, tak semua orang bisa memilikinya. Berlian memilih siapa yang layak menyentuhnya. Ia tak jatuh ke tangan yang tak tahu cara menghargai. Jika ia harus menunggu ribuan tahun di dalam tanah untuk bertemu dengan pemilik sejatinya, ia akan menunggu. Kesabaran adalah kemewahan yang hanya dimiliki oleh mereka yang bernilai.

Ada batu yang iri padanya, mencemooh ketenangannya, meragukan kilaunya. Berlian tak perlu membalas. Ia tak perlu membuktikan dirinya. Dunia yang akan memberi nilai. Saat waktunya tiba, ia akan diangkat, dibersihkan, dan dikenakan oleh mereka yang mengerti bahwa keindahan sejati tak lahir dari pameran, tapi dari ketahanan.

Banyak yang mengira berlian hanya tentang kilau, tapi mereka lupa bahwa kilau itu adalah hasil dari luka. Setiap goresan yang ia terima, setiap tekanan yang ia jalani, bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa ia telah melewati ujian. Seperti jiwa yang ditempa oleh kesabaran, berlian tahu bahwa penderitaan bukanlah hukuman, tapi jalan menuju keabadian.

Di dunia yang penuh kebisingan, berlian memilih diam. Ia tahu, yang berbicara terlalu banyak seringkali tak memiliki nilai. Hanya mereka yang sunyi yang mampu mendengar suara kebijaksanaan. Hanya mereka yang bertahan dalam gelap yang akan memahami arti cahaya.

Berlian tak memaksa orang untuk melihatnya. Ia tak memohon untuk diakui. Namun, ketika waktu yang tepat tiba, ia akan ditemukan oleh mereka yang mengerti maknanya. Bukan oleh mereka yang hanya mengagumi kemewahan, tapi oleh mereka yang memahami arti perjuangan.

Pada akhir perjalanan, berlian tak peduli pada mereka yang meremehkannya di awal. Ia hanya tersenyum, karena ia tahu bahwa mereka yang dulu menutup matanya, kini tak bisa berpaling darinya. Berlian tak pernah kehilangan kilau, tak pernah kehilangan harga diri.

Karena ia tahu, berlian tak diciptakan untuk menyenangkan semua orang. Ia hanya ada untuk mereka yang cukup bijak untuk melihatnya.

Meskipun ia jatuh ke lumpur, berlian tetap berlian. Ia tak pernah pudar. Atas izin Allah, kamulah berlian itu, anakku, dr. Iin Fadhilah Utami Tammasse, S.Ked., MARS, M.Sc. (Residen Obgyn)
————————————————
Makassar, 18 Maret 2025 M./18 Ramadan 1446 H.
Pk. 15.27 WITA

(Visited 24 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.