Oleh: Tammasse Balla
Di sebuah sudut timur negeri, matahari tak pernah absen menyapa kampus yang dijuluki Kampus Merah. Di dalamnya, waktu tak sekadar mencatat kehadiran dosen dan mahasiswa. Waktu justru mengukir ketulusan pengabdian dua insan yang memilih menjadi lentera di tengah belantara ilmu: seorang lelaki dan istrinya—dua akademisi senior yang tak hanya mengajar, tapi juga menyemai makna kehidupan.
Di luar jam dinas yang kaku dan formal, jiwa mereka menjelma embun—menyegarkan siapa saja yang disentuhnya. Mereka tak duduk bersilang kaki menikmati status. Justru di sela-sela keletihan kampus, mereka menanam benih cita di tanah gersang: sebuah klinik kecil, dibangun bukan dengan modal emas atau lembaran rupiah, tapi dengan modal dengkul dan semangat baja, seperti perahu kecil yang melawan arus di tengah samudra kapitalisme medis.
Mereka mendirikan klinik bukan untuk mengejar gengsi, melainkan untuk meninggalkan warisan berbentuk amal dan harapan, bukan sekadar bangunan. Klinik itu bukan toko, bukan pula orientasi bisnis semata. Ia adalah buah cinta dua orang tua untuk anak-anaknya, tempat di mana etika, ilmu, dan pengabdian bertemu.
Namun, angin tak selalu bertiup lembut bagi perahu kecil yang berlayar tulus. Ketika klinik itu mulai tumbuh, saat satu demi satu pasien pulang dengan wajah lega dan senyum sembuh, angin iri pun datang membawa awan cemburu. Di balik dinding-dinding yang bertelinga, terdengarlah suara-suara sumbang yang tak pernah disapa kebenaran.
“Ah, itu bukan hasil jerih payahnya. Dia hanya suami sang dokter. Hanya casing luar yang ikut menikmati kejayaan istrinya.”
Kalimat itu menyelinap seperti racun dalam bisikan ular, mengendap di sudut telinga, berharap bisa menggerogoti jiwa. Namun, mereka lupa—casing itu bukan topeng. Casing itu penyangga.
Mereka lupa, bahwa dinding kokoh bukan hanya dibangun oleh insinyur, melainkan oleh keyakinan, kerja diam-diam, dan peluh yang tidak tercatat di sistem informasi rumah sakit. Mereka lupa, bangunan klinik tidak tumbuh dari cetak biru, melainkan dari mimpi dua insan yang saling menegakkan satu sama lain.
Sang suami, yang mereka ejek sebagai boneka, adalah akar yang memeluk tanah, sementara istrinya adalah bunga yang menari-nari di bawah cahaya matahari. Mereka tidak bersaing, tapi saling menopang, saling meneguhkan. Satu tidak akan tumbuh tanpa yang lain. Namun apa daya, mata orang yang penuh iri selalu rabun terhadap kebenaran.
Ia adalah lelaki yang memilih diam karena tahu bahwa gema kebenaran lebih lantang dari teriakan pembenaran. Ia tahu, orang-orang menilainya dari kulit, bukan dari urat yang berdetak di baliknya. Walau datang badai iri, ia tetap berdiri, karena keyakinan tak perlu dielakkan, cukup dijalani.
Ia adalah katak tuli, bukan karena tuli sungguhan, tapi karena ia menolak mendengar hal-hal yang mematikan semangat. Ia tahu kisah itu, tentang katak-katak yang memanjat menara, dan hanya katak yang tuli yang mampu sampai ke puncak karena ia tak mendengar semua celaan di bawah.
Mereka yang menghina casing, tak pernah tahu bahwa casing itu dibasuh keringat, dilap oleh keraguan, dan dilapisi harapan setiap hari. Casing itu bukan kemasan kosong, melainkan perisai yang menahan badai saat fondasi belum menguat.
Istrinya, sang dokter, adalah matahari yang menyinari pasien. Namun, sang suami adalah bumi yang menampung langkah, menjaga kestabilan, menahan getar gempa dan hujan badai. Mereka hanya melihat cahaya, tapi tak pernah menghargai tanah tempat cahaya itu memantul.
Ketika klinik itu kini menjadi besar, sudah mendekati fasilitas rumah sakit, sang suami tidak menepuk dada. Ia menunduk—bukan karena malu, tapi karena rendah hati adalah pakaian bagi pejuang yang tak ingin sorotan. Ia tahu, hasil terbaik adalah hasil yang tak perlu dijelaskan, karena waktu sendiri yang akan bersaksi.
Kini kedua anak mereka mulai mengikuti jejak ibunya, masuk Fakultas Kedokteran, diajari bukan hanya oleh buku teks, tapi oleh keteladanan hidup yang nyata dari orang tuanya. Klinik ini bukan sekadar tempat praktik, tapi pusaka nilai yang akan diwariskan hingga akhir hayat.
Mereka yang tertipu pada casing, sebenarnya tertipu oleh kemiskinan imajinasi dan keangkuhan pandangan. Mereka melihat kesuksesan sebagai panggung, bukan perjalanan. Mereka tidak melihat bahwa kebesaran sejati dibangun dalam senyap, dan dikuatkan oleh cinta yang tidak banyak bicara.
Ketika klinik itu kelak menjadi rumah sakit, berdiri kokoh seperti doa yang dijawab, sang suami akan tetap berjalan di belakang. Bukan karena tak layak di depan, tapi karena ia tahu: yang paling kuat bukanlah yang terlihat mencolok, melainkan yang mampu menopang dari balik layar dengan setia.
—————————————
Makassar, 22 Maret 2025 M./ 22 Ramadan 1446 H.
Pk. 06.36 WITA