Suatu hari aku menyaksikan bagaimana rasanya ayah ibuku di hina oleh saudara-saudara dari ibu ketika kakakku hamil di luar nikah.
Rasa takut menghantui kakakku, karena waktu itu kakak baru duduk di bangku SMP kelas-3. Saat itu ia mulai pucat aku sudah menduga bahkan melihat keanehan yang terjadi pada dirinya juga tindakannya.
Akhirnya ibu memanggil saudaranya untuk bertanya, barangkali ada sesuatu yang telah terjadi pada diri kakak. Jawabannya benar, kakakku hamil pada usia dini. Saudara ibu baru berlalu, ayah merasa terpukul sepanjang sejarah karena ayah hanya ingin kami sekolah, bahkan tanggung jawab keuangan dalam rumah tanggapun ayah kasih kepercayaan ke kakakku.
Ibu menjadi bisu entah mengapa. Suasana rumah menjadi hening karena kakak justru menyebut seorang kakak yang tinggal bersama kami. Meskipun orang asing tapi ia orang baik dan kami sudah anggap sebagai saudara pada moment itu. Kakak itu lagi berdinas ke kota dan belum balik ke rumah.
Kita tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi pada kakak, bahkan rahasia di balik kehamilan kakak sekalipun. Ayan begtu sakit hati dan mulai terus emosi menyalahkan ibu yang kurang perhatian ke kami anak-anaknya. Namun ibu adalah wanita tersabar yang kami miliki. Ibu menunggu waktu yang tepat menjelaskan kepada ayah bahwa, apapun yang sudah terjadi pada putri kita itu bukan atas kehendaknya melainkan semua atas kehendak Tuhan, seperti halnya sejarah kelahiran yang pernah terjadi padamu dulu.
Ayah diam sejenak dan memeluk kami, karena ayah tidak mau emosi lagi kala itu. Ayah terus bejuang agar cucu itu lahir meskipun kakak yang tinggal bersama kami tidak menerima anak itu karena ia merasa ia tidak melakukan apa-apa dengan kakak.
Pada akhirnya satu persatu meninggalkan rumah kami serta penyiksaan kata-kata hina terhadap ayah ibu mulai berkobar bagai bara api kala itu.
Ibu stres namun selalu menguatkan kami anak-anaknya. Ayah mulai sadar akan satu hal dalam hidupnya bahwa segala sesuatu yang sudah terjadi tak dapat di ubah lagi menjadi semula.
Sanak saudara ibu mulai menceritakan ibu di mana-mana. Mereka malu katanya, bahkan mengatakan ayah dan ibu kami gagal mendidik kami sebagaimana mestinya anak mereka.
Rumah yang dulu semua orang datang berkunjung tiba-tiba jadi sunyi dan sepi. Tak ada lagi canda tawa. Ayah selalu berpesan jaga diri nak, kakakmu sudah gagal, aku ingin kamu sukses, itu adalah harapan ayah.
Aku hanya berjalan menuruti kata hati. Aku tidak mau jauh dari ayah dan ibu karena aku takut sewaktu-waktu ada perdebatan dalam rumah dan ayah akan makin menyalahkan ibuku.
Suatu hari ayah mencoba bertanya akan ideku. Nak jika tamat SD kamu mau lanjut ke sekolah mana? Aku tidak ingin jauh dari ayah dan ibu dan ingjn tetap di rumah sekolah di sini ayah. Ayah mulai berpikir jika aku terus menerus di rumah aku akan gagal seperti kakak, karena ayah tahu jika ada seseorang yang telah berjuang untuk menghancurkan keluarga kami dengan cara memalukan ayah dan ibu, karena kala itu kami hidup berkecukupan di kota kami menetap.
Ada yang pura-pura perhatian di depan ayah ibu, tapi di belakang mereka menertawakan ayah dan ibuku. Sejak hari itu aku baru sadar bahwa banyak manusia bermuka topeng.
Ayah lalu berpikir dan suatu hari bertanya pada ibu ketika rumah kami sudah bagaikan kuburan. Aku dan ibu sudah memutuskan agar kamu tamat nanti tinggal di asrama susteran biar sekolah dengan nyaman dan belajar hidup disiplin. Aku menjawab tidak aku tidak akan tinggal di asrama ayah. Apabila ayah ingin aku sekolah jauh maka aku ingin sekolah jauh tapi tinggal sama sanak saudara ayah, karena aku sudah membaca otak keluarga ibuku yang pura-pura baik di hadapan ayah dan ibuku.
Akhirnya keputusanku diterima oleh ayah dan ibu. Suatu hari ayah meminta bantuan kepada saudara sepupunya yang menjadi istri dari adik ayah agar membawaku untuk tinggal bersama dengan keluarga besar ayah. Akhirnya aku pun setuju dan tamat aku di antar oleh tante dengan satu saudara sepupu dan kami beranjak ke ibu kota propinsi Dili.
Aku akhirnya merasa bahagia karena bisa tinggal bersama kakak-kakak aku dari keluarga ayahku yakni kami semua satu keturunan. Baru sebulan saja ayah selalu datang mengunjungiku dengan kakak-kakak serta membawa bekal.
Aku baru tinggal sebulan tiba-tiba adik dari ibuku memberitahukan kabar apabila aku tinggal di rumah om ayahku katanya, saudara sepupuku tidak suka. Hanya mendengar demikian, adik ibuku langsung pergi denganku dan membawaku keluar dari rumah dimana ayah menitipkanku dengan saudara-saudariku.
Tanpa berkata apa-apa aku hanya mencoba mengikutinya. Ketika tiba dan tinggal pertama kali aku begitu menyesal karena kakak-kakak sepupuku merasa tidak puas, sampai datang ke rumah dan bertengkar dengan seorang kakak yang tak berdosa hanya gara-gara aku pindah rumah.
Ayah mendengar kabar bahwa aku telah pindah alamat, ayah marah bahkan memutuskan hubungan anak dan ayah. Namun sebagai anak tentu sedang belajar melibatkan diri dalam proses, jadi aku tidak menjawab apa-apa dan aku mulai tinggal bertahan, karena ingjn balik lagi aku malu sama saudara sepupuku kala itu.
Aku mulai belajar ikhlas. Tak lama kemudian aku mendengar kabar jika putra yang di kandung oleh kakakku sudah hampir setahun, namun telah meninggal dunia. Aku hanya pasrah waktu itu karena itu hari pertamaku tinggal jauh dari orang tua dan sanak saudaraku demi ilmu.
Terkadang usai putra kakak meningal kakak sering datang di kota dimana aku tinggal dan pada akhirnya ia hamil lagi yang kedua, tapi ada seorang pria ia pergi mengakui kepada ayah dan ibu apabila anak di kandungan kakak, adalah darah dagingnya. Secara kultur mungkin ayah dan ibu bangga tapi aku justru membenci orang itu karena yang aku lihat dia bukan mencintai kakakku tapi demi uang ayahku.
Akhirnya hubungan mereka direstui oleh ayah dan ibuku. Ketika kemerdekaan kakak dan kedua orang tua juga sanak saudaraku semua ke Kupang NTT. Aku dan adik bungsuku tertinggal di bumi Lorosa’e dimana kami lahir. Kakak akhirnya dibebaskan ayah untuk pulang dengan putrinya dan satu adikku. Namun kehadiran kakak jadi masalah lagi karena sang suami berkata bahwa, jika istrinya telah di perkosa oleh para TNI, akhirnya ayah menjadi murka dan mendengar kabar itu, ayah tidak terima karena ayah dan ibu juga rela berkorban demi sekolahnya.
Tanpa berpikir panjang ayah dan ibu langsung membuat surat kuasa dan gaji ayah dialihkan atas nama kakak sepupuhnya, karena baginya kami anak-anak jauh lebih penting daripada uang.
Ayah dan ibu memutuskan pulang dengan kondisi darurat, dan kami akhirnya bersama lagi. Aku sedih karena aku sadar sejak kakak bermasalah kami jadi menjadi buah bibir sanak saudara ibu, di tambah lagi ketika ayah sudah tak memiliki profesi yang menghasilkan uang.
Ayah tiba langsung menyelesaikan masalah kakak dan suami kakak kembali menerima kakak, tapi ketika anak-anak bertambah jumlah justru yang terjadi kakak menerima lagi penyiksaan psikologi oleh sang suami. Aku merasa itu tidak adil karena sebagai istri ia tidak memiliki hak membeli rinso, sabun, pakaian bahkan sayur, tugasnya hanya melahirkan dan merawat rumah.
Aku merasa jika demi cinta kakak ke ayah dan ibu terkadang ia menutupi penderitaannya dari ayah dan ibu. Namun ketika aku tinggal bersama selama sembilan bulan aku baru merasakan apabila hidup kami dimanfaatkan oleh orang yang salah dan sangat tidak pantas. Terkadang kakak harus pura-pura bahagia di hadapanku, padalah naluriku begitu sakit ketika menyaksikan semua dengan mata kepala.
By Bu Dev’1125