Oleh : Tammasse Balla

Pemimpin, oh pemimpin. Engkau kini lebih sering bercermin pada layar sentuh daripada lembaran buku referensi. Jurnal adalah barang aneh dan sakral bagimu. Dahulu, pemimpin duduk bersimpuh di antara bait-bait buku, berdialog dengan Plato dalam senyap, menyesap makna dari Al-Ghazali, menimbang adil dalam sunyi bersama Umar bin Khattab. Kini, engkau berlari-lari mengejar notifikasi, terpesona oleh pujian yang numpang lewat di komentar. Engkau seakan-akan memimpin negeri dengan jempol, bukan dengan akal budi yang diasah malam-malam panjang.

Media sosial bagimu bukan hanya cermin, tapi juga panggung. Tempat engkau merias citra, memoles wibawa dengan filter dan framing. Sementara rakyat lapar bukan hanya nasi, tapi juga arah. Mereka menunggu pidato yang keluar dari dada, bukan dari draft admin medsos yang pandai meniru suara rakyat tapi tak pernah merasakan debu jalanan. Di dunia maya, engkau bersinar. Di dunia nyata, rakyat harus menebak-nebak ke mana perahu akan berlayar.

Pemimpin masa lalu, meski tak viral, adalah pendengar yang sabar terhadap suara sunyi kaum lemah. Mereka berkawan dengan tinta, berdamai dengan waktu, dan menolak tidur sebelum satu bab selesai mereka pahami. Kepemimpinan adalah puasa terhadap nafsu populer, dan jihad terhadap kebodohan yang menyamar dalam kesibukan. Mereka mengerti bahwa memimpin bukan soal cepat tanggap di Twitter, tapi lambat hening dalam mengambil putusan yang menyentuh jantung umat.

Wahai pemimpin zaman kini, engkau berjalan bersama kerumunan yang riuh, tapi hatimu sepi. Engkau tahu semua trending topic tapi buta arah dalam hikmah. Engkau hafal algoritma dan engagement, tapi lupa bahwa rakyat bukan angka, bukan data demografi. Mereka adalah jiwa-jiwa yang punya harap dan luka, dan mereka butuh pemimpin yang berani diam untuk merenung, bukan hanya bersuara demi sorak-sorai.

Kekuasaan yang tak dibimbing ilmu akan mudah tergelincir dalam kesombongan digital. Like menjadi candu, komentar menjadi kompas, dan retweet menjadi sabda. Di mana lembar-lembar sejarah yang mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah beban, bukan branding? Di mana bait-bait doa yang dulu selalu jadi pengantar tidur para pemimpin sejati? Apakah semuanya sudah kalah oleh fitur-fitur baru yang menjanjikan popularitas instan?

Pemimpin, oh pemimpin… ingatlah bahwa media sosial adalah ombak. Kadang mengangkatmu ke puncak, kadang menenggelamkanmu dalam badai. Namun, buku, ilmu, dan hikmah adalah karang yang setia menopang kapalmu agar tak karam. Engkau boleh mendengar media sosial, tapi jangan sampai membisukan nuranimu. Ingat, rakyat tak hanya butuh pemimpin yang dekat secara daring, tapi hadir secara nurani.

Kembalilah duduk di antara lembar-lembar perenungan. Bukalah kembali buku yang mengajarkan makna kesabaran, keadilan, dan keberanian. Jadilah pemimpin yang tak hanya ditunggu live streaming-nya, tapi juga ditunggu bisik hikmahnya. Karena zaman boleh berubah, tapi jiwa kepemimpinan sejati tetap sama: ia lahir dari pembacaan yang dalam, bukan dari pameran yang hingar-bingar.
—————————————————-
RSUD Hj. Andi Depu Polman, 16 April 2025 M./17 Syawal 1446 H.
Pk. 11.27 WITA

(Visited 13 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.