Oleh: Tammasse Balla
Kala embun masih menggantung di pelupuk pagi, ada seorang anak manusia yang menatap langit seraya berkata dalam hati, “Duhai Tuhan, mengapa rezeki datang begitu lambat kala Ayah dan Ibu masih menanti di ujung pintu?” Ia mengais waktu seperti mengais serpihan harapan di ladang tandus. Ketika emas datang bertubi-tubi, rumah tua tempat kasih sayang ditumbuhkan dan dibesarkan telah sepi, tinggal bayangan dan kenangan yang tak mampu dipeluk.
Ayah adalah mentari yang tak pernah meminta terbitnya dihargai. Ia membakar diri dalam peluh dan diam, demi anak yang belum tahu arah. Ibu adalah bulan yang mengendap di langit hati, menyalakan malam dengan doa yang tak bersuara. Namun, si anak—yang kini menjadi manusia dewasa dengan jas elegan dan mobil mengkilap—baru sadar bahwa waktu tak menunggu kebaikan terlambat datang.
Waktu adalah musafir yang tak pernah mengulang jejak. Ia berjalan tanpa menoleh, membawa serta mereka yang diam-diam menjadi tua, menjadi renta, menjadi kenangan. Lalu datang hari ketika sang anak menggenggam kunci mobil, buket bunga, dan tiket umrah—namun dua nama yang ingin ia bahagiakan telah tertulis di batu nisan.
Di kamar kosong yang dahulu penuh dongeng dan dekap cinta, hanya ada bingkai foto dan sajadah kusam. Ia sujud lama di sana, memohon maaf yang tak bisa dijawab oleh bibir yang telah lama membisu. Ia menangis, bukan karena miskin kasih, tetapi karena ia baru kaya saat cinta yang harusnya diberi, telah berpulang kepada Sang Pemilik.
Andai waktu bisa dijahit seperti baju yang robek, mungkin ia akan menjahitkan ulang setiap detik yang ia habiskan mengejar dunia, dan bukan pulang lebih sering untuk sekadar mencium tangan ibu. Waktu adalah kain tak bersambung. Jika robek, ia tinggal sobek. Tak ada penjahit yang bisa mengembalikan masa lalu.
Sesal datang seperti hujan di bulan kemarau—terlambat tapi deras. Mengguyur tanah hati yang retak karena terlalu lama membiarkan orang tua sendiri menua dalam senyap. Kini, tak ada lagi kursi goyang di teras yang berayun pelan, tak ada lagi suara batuk Ayah yang bersahutan dengan suara adzan magrib. Yang ada hanya keheningan dan gumam: “Maaf, aku terlambat.”
Padahal cinta orang tua tak pernah meminta upah. Mereka hanya ingin melihat anaknya tumbuh, meski harus merunduk seperti padi, meski harus lelah seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Namun anak sering kali baru ingin membalas saat sawah sudah kering, dan sungai sudah kembali ke asalnya—samudera keabadian.
Jangan lupa bagi mereka yang masih punya Ibu, peluklah ia setiap hari. Jangan tunggu hari tua untuk membelikan obat, cukup temani secangkir teh dan dengarkan keluh-kesahnya. Bagi yang masih punya Ayah, ajaklah ia bicara meski hanya lima menit tentang hal remeh. Karena nanti, hanya sunyi yang akan menjawab ketika rindu datang mengetuk, dan mereka telah tiada.
Sesal adalah guru paling kejam—ia tak mengajar di awal, tapi menghukum di akhir. Sebelum waktu datang menjelma jadi batu nisan, cintailah mereka yang hidup dalam doa-doamu sejak bayi. Jangan tunggu sampai rezekimu melimpah baru ingin memberi, sebab cinta sejati orang tua tak menunggu emas, mereka hanya menanti senyum dan perhatian yang sederhana—yang kini, tak bisa lagi kau beri.
~~
Makassar, 10 Mei 2025
Pk. 07.14 WITA