Gerakan literasi birokrat yang dulu saya ikut serta mendirikannya dengan semangat besar, SABISABU — Satu Birokrat Satu Buku — kini seperti berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Gerakan ini pernah lahir dari kerinduan: agar birokrasi Indonesia tidak terjebak dalam rutinitas administratif yang kering makna. Kami ingin setiap birokrat berbicara melalui tulisan. Menyampaikan pengalaman, menuliskan gagasan, merekam perenungan, dan mewariskan nilai. Itulah yang dahulu kami yakini bersama.
Namun hari ini, saya menatap realitas itu dengan kegelisahan yang dalam. Produk-produk literasi yang bermunculan hingga penerbitan instan di bawah payung SABISABU, semakin terasa asing di mata dan hambar di hati. Tulisan-tulisan itu kehilangan sentuhan personal. Hilang kejujuran batin. Narasinya tampak steril, paragraf-paragrafnya berjalan seperti robot, dan tidak terasa ada napas kehidupan di dalamnya. Semuanya serba rapi, namun dingin. Logis, tetapi kering. Sempurna dalam struktur, miskin dalam jiwa.
Mengapa ini terjadi?
Satu hal yang mengusik saya adalah kecenderungan penggunaan teknologi kecerdasan buatan — terutama ChatGPT — dalam proses penulisan karya-karya tersebut. Semakin banyak birokrat yang, dalam proses menulis, lebih mengandalkan mesin ketimbang merenung. Kata-kata tidak lagi digali dari pengalaman hidup, tetapi dikeruk dari output sistem berbasis data. Judul, kalimat pembuka, bahkan isi dan kesimpulan dituliskan oleh algoritma, bukan oleh nurani. Penulis hanya menjadi operator dari perintah yang ditujukan ke mesin.
Bila tren ini dibiarkan, gerakan literasi birokrat akan menjelma menjadi industri produksi naskah yang seragam, dangkal, dan kehilangan karakter. Buku-buku yang dihasilkan tidak lagi mencerminkan suara pribadi penulisnya. Ia hanya menjadi dokumen yang ditulis mesin, dibaca sekilas, lalu dilupakan.
Saya tidak ingin terjebak dalam romantisme pena. Teknologi hadir untuk membantu. Saya pun mengakui bahwa AI memiliki fungsi dan manfaat yang luar biasa dalam mempercepat proses kerja, merapikan struktur naskah, atau memberi alternatif perspektif. Tetapi ketika AI mengambil alih seluruh proses penciptaan, kita sedang membiarkan keheningan merayap masuk ke dalam dunia literasi. Keheningan yang bukan penuh makna, melainkan kosong karena tak ada lagi suara manusia.
SABISABU, sejak awal, adalah ruang untuk manusia menulis. Ruang untuk para birokrat berhenti sejenak dari hiruk-pikuk birokrasi, lalu duduk dengan sunyi, menatap diri sendiri, dan menuliskan apa yang telah mereka alami, pikirkan, dan hayati. SABISABU adalah jembatan agar seorang ASN tak hanya menjalankan fungsi administratif, tapi juga menyalurkan sisi reflektifnya. Menulis adalah cara untuk menyapa dunia dengan kejujuran, dan kejujuran itu tidak bisa digantikan oleh chatbot secerdas apa pun.
Karena itu, saya mengajak semua yang terlibat dalam gerakan ini untuk meninjau kembali esensi dari literasi yang ingin dibangun. Janganlah kita tergoda oleh kemudahan teknologi hingga melupakan proses berharga dalam menulis: berpikir, merasa, bertanya, dan menimbang. Proses inilah yang membentuk kualitas manusia dan martabat penulis. Inilah ruh yang tidak bisa dipalsukan oleh AI.
Sudah waktunya kita bersuara: bahwa pena masih penting. Bahwa tulisan yang lahir dari tangan manusia punya kedalaman yang tidak bisa diukur oleh algoritma. Kita perlu membangun kembali budaya menulis yang berakar pada kejujuran dan pengalaman. Bukan dari baris kode, tapi dari denyut nadi kehidupan birokrat yang masih punya nurani dan cita-cita untuk membangun bangsa melalui refleksi personal yang dituangkan ke dalam tulisan.
Saya percaya, masih banyak birokrat yang ingin menulis karena ingin mengabdi lewat kata. Masih banyak yang ingin menyusun kalimat bukan karena kejar target, tetapi karena ingin berbagi hikmah. Dan saya percaya, mereka itulah yang akan menjaga ruh SABISABU tetap hidup. Karena literasi adalah warisan jiwa, bukan produk digital semata.
Mari jaga gerakan ini. Mari kembalikan menulis pada tempatnya yang mulia. Mari duduk kembali di hadapan kertas kosong, dan biarkan pena — bukan mesin — yang mengisi lembar-lembar itu dengan kejujuran yang hidup. []