Hong Kong, sebuah kota metropolitan yang terkenal dengan keanekaragaman budaya dan kulinernya, juga menjadi rumah bagi komunitas pekerja migran Indonesia (BMI) yang besar. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan di negeri beton ini, isu makanan halal menjadi salah satu perhatian utama bagi para BMI. Meski restoran halal sudah mulai menjamur, dengan izin resmi dari pemerintah Hong Kong, tantangan dalam memenuhi kebutuhan makanan halal masih tetap ada.
Sebagai seorang Muslim, mengonsumsi makanan halal bukan hanya sekadar pilihan, tetapi merupakan bagian dari identitas dan keyakinan yang harus dijaga. Hal ini menjadi semakin penting di Hong Kong, di mana mayoritas penduduknya bukan Muslim. Para BMI harus pandai-pandai memilih makanan dan memberikan pengertian kepada majikan mereka tentang pentingnya makanan halal. Di luar daging babi yang diharamkan, masih banyak produk lain yang mengandung bahan haram, sehingga menjadi tantangan tersendiri.
Salah satu contoh yang sering dijumpai adalah kue bulan yang menjadi tradisi pada perayaan Festival Pertengahan Musim Gugur. Kue ini, atau yang dikenal dengan sebutan “yuitpeng,” kerap disajikan dalam keluarga sebagai simbol silaturahmi. Sayangnya, banyak kue bulan yang mengandung minyak babi, meski mungkin ada beberapa yang tidak. Ini menjadi dilema bagi para BMI, terutama yang merawat orang tua di rumah majikan, di mana kue bulan menjadi hidangan yang umum.
Tidak hanya kue bulan, makanan lain seperti daging ayam dan bebek juga perlu diperhatikan. Sering kali, daging yang disajikan untuk sembahyang oleh majikan tidak memenuhi kriteria halal. Olahan kalengan seperti ham dan sosis (yang sering kali terbuat dari babi) juga menjadi bahan pertimbangan. Meski restoran internasional seperti McDonald’s dan KFC tidak termasuk dalam kategori haram, tetap saja terdapat keraguan di kalangan BMI tentang pilihan makanan yang tepat.
Di tengah semua ini, muncul berbagai reaksi dan pandangan dari para BMI mengenai makanan haram. Ada yang bersikap acuh tak acuh, berargumen bahwa selama tidak terlihat bentuk babi, mereka akan mengonsumsinya. Ada pula yang lebih skeptis, mempertanyakan mengapa harus berdebat tentang makanan halal sementara di sisi lain banyak masalah moral yang lebih besar. Berbagai suara ini mencerminkan keraguan, kebingungan, dan bahkan ketidakpedulian terhadap ajaran agama.
Mendengar berbagai pendapat tersebut, hati ini terasa bergejolak. Meskipun saya ingin menegur dan menjelaskan tentang pentingnya menjaga halal haram, saya memilih untuk diam dan berdoa. Saya menyadari bahwa tidak semua orang memahami atau mau mendengarkan nasihat. Namun, saya percaya bahwa menghindari makanan haram adalah tanggung jawab kita sebagai Muslim.
“Jika memang tidak tahu, itu masih bisa dimaklumi, tetapi jika sudah diberi tahu dan tetap mengabaikan, maka hal ini perlu dipertimbangkan,” ucap saya dalam hati. Masih banyak makanan halal yang jelas, seperti ikan, telur, dan sayur. Allah mengharamkan makanan tertentu bukan tanpa alasan; pasti ada kebaikan di balik setiap ketentuan-Nya. Jika seseorang memilih untuk melanggar batasan ini, biarlah dirinya dan Allah yang tahu.
Di tengah keraguan dan perdebatan, kita seharusnya lebih fokus pada tujuan untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Seorang teman sejati adalah mereka yang membantu kita memperbaiki diri, bukan sekadar menegakkan argumen untuk membenarkan tindakan yang salah. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama belajar dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya makanan halal dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat BMI di Hong Kong, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki tujuan yang sama dalam menegakkan prinsip-prinsip agama. Kita perlu membangun kesadaran dan saling mendukung dalam menjalani hidup sebagai Muslim di tengah lingkungan yang penuh tantangan ini. Dengan memahami dan menerapkan ajaran agama, kita tidak hanya menjaga diri sendiri tetapi juga berkontribusi pada komunitas yang lebih luas.
Semoga kita selalu diberikan petunjuk dan kekuatan untuk memilih jalan yang benar, serta dapat menginspirasi satu sama lain dalam perjalanan ini. []
Pros and Cons of Halal Food in Hong Kong
Hong Kong, a metropolitan city known for its cultural and culinary diversity, is also home to a large community of Indonesian migrant workers (IMTs). Amidst the hustle and bustle of life in this concrete country, the issue of halal food is one of the main concerns for IMTs. Although halal restaurants have started to mushroom, with official permission from the Hong Kong government, the challenge of meeting the need for halal food still remains.
As a Muslim, consuming halal food is not just a choice, but a part of identity and belief that must be maintained. This is even more important in Hong Kong, where the majority of the population is not Muslim. IMTs must be smart in choosing food and explaining to their employers about the importance of halal food. Apart from pork which is forbidden, there are still many other products that contain haram ingredients, making it a challenge in itself.
One example that is often found is moon cakes which are a tradition during the Mid-Autumn Festival celebration. This cake, or known as “yuitpeng,” is often served in families as a symbol of friendship. Unfortunately, many mooncakes contain pork fat, although some may not. This is a dilemma for migrant workers, especially those who care for the elderly in their employers’ homes, where mooncakes are a common dish.
Not only mooncakes, other foods such as chicken and duck also need to be considered. Often, the meat served for prayers by employers does not meet halal criteria. Canned products such as ham and sausages (which are often made from pork) are also a consideration. Although international restaurants such as McDonald’s and KFC are not included in the haram category, there are still doubts among migrant workers about the right food choices.
In the midst of all this, various reactions and views have emerged from migrant workers regarding haram food. Some are indifferent, arguing that as long as there is no visible pork, they will consume it. Others are more skeptical, questioning why they should argue about halal food when on the other hand there are many bigger moral issues. These voices reflect doubt, confusion, and even indifference to religious teachings.
Hearing these opinions, my heart feels turbulent. Although I wanted to reprimand and explain the importance of maintaining halal and haram, I chose to remain silent and pray. I realize that not everyone understands or is willing to listen to advice. However, I believe that avoiding haram food is our responsibility as Muslims.
“If you really don’t know, that’s still understandable, but if you’ve been told and still ignore it, then this needs to be considered,” I said to myself. There are still many halal foods that are clearly halal, such as fish, eggs, and vegetables. Allah forbids certain foods for a reason; there must be goodness behind every provision of His. If someone chooses to violate these restrictions, let him and Allah know.
In the midst of doubt and debate, we should focus more on the goal of reminding each other to do good. A true friend is someone who helps us improve ourselves, not just upholding arguments to justify wrong actions. Therefore, let us learn together and raise awareness about the importance of halal food in our daily lives.
The migrant worker community in Hong Kong, although coming from different backgrounds, has the same goal of upholding religious principles. We need to build awareness and support each other in living our lives as Muslims in this challenging environment. By understanding and implementing religious teachings, we not only protect ourselves but also contribute to the wider community.
May we always be given guidance and strength to choose the right path, and can inspire each other on this journey. []