Causeway Bay bukan sekadar kawasan urban yang modern di Hong Kong, tetapi bagi para buruh migran Indonesia, tempat ini ibarat “rumah kedua.” Letaknya strategis, dengan berbagai bangunan ikonik yang menarik dan fasilitas yang ramah bagi para pekerja migran. Di Causeway Bay, kita bisa menemukan perpustakaan pusat Hong Kong yang megah, Times Square yang gemerlap, hingga Sogo Causeway Bay yang menawarkan berbagai produk dari Indonesia. Tak heran, kawasan ini sering disebut sebagai “wilayah kekuasaan” Indonesia di Hong Kong.
Berjalan di sepanjang jalan Causeway Bay pada hari Minggu, suasananya begitu hidup dengan gemuruh bahasa Indonesia di udara. Di sudut-sudut jalan, terdapat toko-toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari, makanan khas Indonesia, hingga barang-barang yang akrab di telinga mereka yang rindu akan kampung halaman. Tak jauh dari sini, ada juga kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), tempat di mana para buruh migran mengurus berbagai keperluan administratif.
Namun, di balik gemerlapnya Causeway Bay, ada satu tempat yang menjadi pusat dari segala aktivitas sosial dan komunitas buruh migran Indonesia—Victoria Park. Taman terbesar di Hong Kong ini bukan hanya sebatas area hijau di antara gedung pencakar langit. Bagi para pekerja migran, Victoria Park adalah tempat untuk melepaskan penat, berkumpul, dan menemukan pelipur lara di tengah kesibukan bekerja. Taman ini adalah rumah bagi hati yang jauh dari tanah air.
Victoria Park tidak hanya menyajikan keindahan alam di tengah hiruk-pikuk kota. Taman ini dilengkapi berbagai fasilitas publik, mulai dari lapangan sepak bola, kolam renang, lapangan basket, hingga tempat untuk bermain tenis. Bagi yang suka membaca, perpustakaan pusat Hong Kong yang terletak tepat di seberang taman menjadi tempat favorit untuk menenangkan diri, membaca buku-buku menarik, atau sekadar bersantai menikmati suasana hening.
Bagi para buruh migran Indonesia, Victoria Park adalah oase kebebasan. Setiap minggunya, taman ini dipenuhi dengan ribuan pekerja yang datang untuk menikmati hari libur mereka. Mulai dari yang duduk santai bersama teman-teman, hingga mereka yang aktif mengikuti berbagai kegiatan, Victoria Park menjadi tempat di mana setiap orang bisa menemukan ruang untuk bersantai, belajar, atau beribadah. Alunan merdu salawat dan lantunan ayat-ayat suci terdengar dari sudut-sudut taman, membuat taman ini terasa seperti pesantren kecil di tengah kota.
Minggu di Victoria Park: Pusat Berkumpulnya Pahlawan Devisa
Setiap hari Minggu, taman ini berubah menjadi “kampung halaman” mini Indonesia. Berbagai komunitas buruh migran Indonesia berkumpul di sini. Dari majelis keagamaan hingga kelompok seni, semua kegiatan berbaur tanpa sekat. Di tengah luasnya taman, suasana terasa hangat dan akrab. Ada yang duduk berkelompok, menggelar tikar sederhana, bercanda, berbagi cerita tentang keseharian mereka, atau sekadar mengobrol sambil menikmati makanan khas yang mereka bawa dari rumah.
Namun, Victoria Park bukan sekadar tempat untuk bersantai. Di sini, ada banyak kegiatan yang produktif dan penuh makna. Banyak buruh migran yang memanfaatkan waktu libur mereka untuk mengikuti pelatihan keterampilan, mulai dari kursus menjahit, tata rias, hingga membuat konten kreatif untuk media sosial. Kegiatan ini bukan hanya menjadi ajang belajar, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kemampuan dan menambah keahlian yang bermanfaat ketika nanti mereka kembali ke Indonesia.
Tidak hanya itu, komunitas keagamaan juga tumbuh subur di Victoria Park. Di berbagai sudut taman, majelis-majelis salawat dan pengajian rutin digelar. Para buruh migran berkumpul, melantunkan doa, salawat, dan zikir bersama, membangun spiritualitas di tengah kesibukan hidup sebagai pekerja migran. Suasana religi yang kental ini memberikan kekuatan batin bagi mereka yang jauh dari keluarga dan tanah air.
Victoria Park: Tempat Bernaung di Tengah Keramaian
Uniknya, meskipun ribuan orang berkumpul di taman ini setiap minggu, suasana tetap terasa aman dan nyaman. Tidak ada pengawasan ketat dari aparat keamanan Hong Kong, namun segalanya berjalan dengan tertib. Para pekerja migran bebas berorganisasi, menjalankan aktivitas, dan beribadah tanpa hambatan, selama kegiatan tersebut positif dan tidak melanggar hukum.
Victoria Park benar-benar menjadi ruang bebas bagi para buruh migran Indonesia. Di taman ini, keberagaman begitu terasa. Berbagai suku dan budaya Indonesia hadir dengan beragam penampilan, mulai dari yang berpakaian kasual hingga yang modis, dari yang berkerudung hingga yang berambut pirang, semua berkumpul dengan satu tujuan: menikmati hari libur dengan damai.
Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengisi waktu liburnya. Ada yang serius belajar, mengikuti kelas keterampilan atau majelis taklim. Ada juga yang memilih duduk santai sambil mengobrol dan bercanda dengan teman-teman. Semuanya berbagi tawa, cerita, dan kebahagiaan, meskipun hanya dengan menggelar tikar sederhana. Di antara mereka, obrolan santai sering kali berubah menjadi momen penting untuk melepaskan kepenatan setelah seminggu penuh bekerja keras.
Antara Causeway Bay, Victoria Park, dan Harapan
Causeway Bay dan Victoria Park adalah dua tempat yang tak terpisahkan dari kehidupan buruh migran Indonesia di Hong Kong. Di sini, mereka menemukan kebebasan untuk bersosialisasi, belajar, dan menikmati kehidupan di tengah kesibukan kota besar. Causeway Bay menyediakan kebutuhan materi, sementara Victoria Park menjadi tempat mereka mengisi kebutuhan rohani dan emosional.
Dalam segenap keterbatasan sebagai buruh migran, mereka terus membawa harapan dan impian besar. Di antara hiruk-pikuk Hong Kong, mereka tidak hanya bekerja keras untuk mengirim uang ke keluarga di Indonesia, tetapi juga berjuang untuk meraih mimpi, meningkatkan kemampuan, dan membangun hubungan yang kuat dengan sesama.
Begitulah, di antara gedung-gedung tinggi dan suasana kosmopolitan Hong Kong, tersembunyi kisah perjuangan para pahlawan devisa ini. Mereka bukan hanya bekerja, tetapi juga belajar, berdoa, dan berorganisasi, menciptakan ruang yang penuh makna di tengah rutinitas yang melelahkan.
Victoria Park adalah simbol kebebasan, tempat di mana mereka bisa sejenak meninggalkan identitas sebagai pekerja, dan kembali menjadi individu yang utuh—teman, saudara, dan sesama pejuang kehidupan. []
Between Causeway Bay, Victoria Park, and Indonesian Migrant Workers in Hong Kong
Causeway Bay is not just a modern urban area in Hong Kong, but for Indonesian migrant workers, this place is like a “second home.” It is strategically located, with various interesting iconic buildings and facilities that are friendly to migrant workers. In Causeway Bay, we can find the magnificent Hong Kong central library, the glittering Times Square, to Sogo Causeway Bay which offers various products from Indonesia. No wonder, this area is often referred to as Indonesia’s “territory” in Hong Kong.
Walking along the streets of Causeway Bay on Sunday, the atmosphere is so lively with the roar of the Indonesian language in the air. On the street corners, there are small shops selling daily necessities, typical Indonesian food, to items familiar to the ears of those who miss their hometowns. Not far from here, there is also the Consulate General of the Republic of Indonesia (KJRI), a place where migrant workers take care of various administrative needs.
However, behind the glitz of Causeway Bay, there is one place that is the center of all social activities and communities of Indonesian migrant workers—Victoria Park. The largest park in Hong Kong is not just a green area between skyscrapers. For migrant workers, Victoria Park is a place to relieve stress, gather, and find solace in the midst of busy work. This park is a home for hearts far from home.
Victoria Park not only presents natural beauty amidst the hustle and bustle of the city. This park is equipped with various public facilities, ranging from soccer fields, swimming pools, basketball courts, to places to play tennis. For those who like to read, the Hong Kong central library located right across the park is a favorite place to calm down, read interesting books, or just relax and enjoy the quiet atmosphere.
For Indonesian migrant workers, Victoria Park is an oasis of freedom. Every week, this park is filled with thousands of workers who come to enjoy their days off. From those who sit back with friends, to those who actively participate in various activities, Victoria Park is a place where everyone can find space to relax, study, or worship. The melodious strains of salawat and the recitation of holy verses can be heard from the corners of the park, making this park feel like a small Islamic boarding school in the middle of the city.
Sunday at Victoria Park: The Gathering Center for Foreign Exchange Heroes
Every Sunday, this park turns into a mini “hometown” of Indonesia. Various communities of Indonesian migrant workers gather here. From religious assemblies to art groups, all activities blend together without barriers. In the middle of the vast park, the atmosphere feels warm and intimate. Some sit in groups, spread out simple mats, joke, share stories about their daily lives, or simply chat while enjoying the specialties they brought from home.
However, Victoria Park is not just a place to relax. Here, there are many productive and meaningful activities. Many migrant workers use their free time to take skills training, from sewing courses, make-up, to creating creative content for social media. These activities are not only a place to learn, but also a means to improve their abilities and add skills that will be useful when they return to Indonesia.
Not only that, religious communities also thrive in Victoria Park. In various corners of the park, regular prayer and religious study groups are held. Migrant workers gather, chant prayers, prayers, and dhikr together, building spirituality amidst the busy lives of migrant workers. This strong religious atmosphere provides inner strength for those who are far from their families and homeland.
Victoria Park: A Place of Refuge Amidst the Crowd
Uniquely, even though thousands of people gather in this park every week, the atmosphere still feels safe and comfortable. There is no strict supervision from Hong Kong security forces, but everything runs orderly. Migrant workers are free to organize, carry out activities, and worship without hindrance, as long as the activities are positive and do not violate the law.
Victoria Park is truly a free space for Indonesian migrant workers. In this park, diversity is so evident. Various Indonesian tribes and cultures come with various appearances, from those dressed casually to those who are fashionable, from those who wear headscarves to those with blonde hair, all gather with one goal: to enjoy the holidays peacefully.
Everyone has their own way to fill their free time. Some study seriously, take skills classes or religious study groups. There are also those who choose to sit back and relax while chatting and joking with friends. Everyone shares laughter, stories, and happiness, even if it’s just by laying out a simple mat. Between them, casual chats often turn into important moments to relieve fatigue after a full week of hard work.
Between Causeway Bay, Victoria Park, and Hope
Causeway Bay and Victoria Park are two places that are inseparable from the lives of Indonesian migrant workers in Hong Kong. Here, they find the freedom to socialize, study, and enjoy life amidst the hustle and bustle of the big city. Causeway Bay provides material needs, while Victoria Park is where they fulfill their spiritual and emotional needs.
In all their limitations as migrant workers, they continue to carry big hopes and dreams. Amidst the hustle and bustle of Hong Kong, they not only work hard to send money to their families in Indonesia, but also struggle to achieve their dreams, improve their skills, and build strong relationships with others.
Thus, amidst the tall buildings and cosmopolitan atmosphere of Hong Kong, the story of the struggle of these foreign exchange heroes is hidden. They not only work, but also study, pray, and organize, creating a meaningful space amidst their tiring routines.
Victoria Park is a symbol of freedom, a place where they can momentarily leave their identities as workers, and return to being whole individuals—friends, brothers, and fellow fighters for life. []