Setiap tahun, ketika Hari Pahlawan semakin dekat, ada sebuah gema yang selalu mengisi ruang hati: “pahlawan, pahlawan, pahlawan…” Kata itu seolah mengajak kita merenung lebih dalam tentang arti perjuangan, tentang sosok-sosok yang kita sebut pahlawan. Apakah pahlawan hanya mereka yang berjuang di medan perang dengan bambu runcing di tangan? Ataukah, pahlawan bisa hadir dalam berbagai bentuk, di tengah kehidupan sehari-hari kita?

Seiring dengan perenungan ini, muncul satu pertanyaan yang tak kalah penting: mengapa tidak ada istilah “pahlawati”? Jika dalam bahasa kita ada sastrawan dan sastrawati, binaragawan dan binaragawati, mengapa pahlawan tidak memiliki padanan untuk perempuan? Apakah ini adil bagi kaum perempuan? Namun, ketika kita menggali lebih dalam, kita memahami bahwa pahlawan—terlepas dari gender—adalah mereka yang berjuang dengan penuh pengorbanan, dalam segala bentuk perjuangan, baik besar maupun kecil.

Secara etimologis, kata “pahlawan” berasal dari gabungan kata “pahala” dan “wan,” yang menunjukkan bahwa pahlawan adalah seseorang yang berjuang demi kebaikan, yang berhak mendapatkan pahala atas pengorbanannya. Tapi perjuangan itu tidak selalu harus terlihat besar di mata dunia. Ada pahlawan yang melawan kemiskinan dengan segala keterbatasannya. Ada yang berjuang melawan rindu yang menusuk hati di perantauan. Ada yang bertarung melawan hawa nafsu, serta mempertahankan iman di tengah godaan dunia. Dan ada pula yang berharap mendapatkan syafaat Rasulullah SAW dengan mengamalkan selawat ribuan kali dalam sehari.

Tidak, kita tidak perlu mengangkat senjata untuk disebut pahlawan. Setiap orang bisa menjadi pahlawan dalam hidupnya, di medan perjuangannya masing-masing. Mereka yang lahir dalam kemiskinan, misalnya, harus menanggung beban berat yang tak kasat mata. Mereka berjuang setiap hari untuk mengubah nasib, menembus batas-batas yang dipaksakan oleh keadaan. Ketika hidup bergantung pada uang, mereka yang tak memilikinya sering kali harus mengorbankan bukan hanya fisik, tapi juga mental. Mental yang terkadang terasa rapuh, namun tetap dipaksa bertahan, karena mereka tahu, perjuangan ini belum selesai.

Bagi banyak buruh migran, rindu adalah medan tempur yang harus dilalui setiap hari. Rindu pada kampung halaman, rindu akan pelukan hangat keluarga, atau bahkan rindu pada masakan sederhana buatan ibu. Rindu ini seperti ombak yang terus menerus menghantam, membuat kita kehilangan keseimbangan. Seperti Dilan yang berkata, “rindu itu berat,” mereka yang hidup jauh dari keluarga tahu betapa menyakitkannya perasaan ini. Kadang, sekadar menerima kiriman makanan dari rumah bisa sedikit mengobati, tapi tak pernah benar-benar bisa menggantikan kebersamaan yang hilang. Dan meskipun rindu itu begitu berat, mereka tetap bertahan, karena perjuangan ini adalah bagian dari tanggung jawab yang harus dituntaskan hingga akhir kontrak kerja.

Di tengah perjuangan fisik dan mental, ada juga mereka yang berjuang secara spiritual. Para pejuang selawat, yang berharap mendapat syafaat dari Rasulullah SAW, memperjuangkan ibadah mereka setiap hari. Mereka melantunkan ribuan selawat dengan harapan bisa meneladani kehidupan Rasulullah. Ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, melawan keinginan duniawi, dan menegakkan sunah Nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Di sisi lain, ada pula perjuangan yang lebih personal, yaitu melawan hawa nafsu. Hawa nafsu sering kali menyeret kita ke dalam perbudakan dunia, membuat kita terus mengejar lebih banyak, tanpa pernah merasa cukup. Ketika nafsu tidak terkendali, kita lupa bersyukur. Ujian dalam hidup ini datang dalam dua bentuk: kesulitan dan kenikmatan. Ujian kesulitan sering kali membuat kita cepat sadar akan kelemahan kita, namun ujian kenikmatan justru lebih sering membuat kita terlena. Kita mengucapkan “alhamdulillah” dengan lisan, namun tak selalu diiringi rasa syukur yang tulus dari hati dan tindakan.

Di tengah perjuangan yang tampaknya tak berkesudahan, kita sering kali lupa untuk berhenti sejenak dan berbicara dengan diri sendiri. Bagaimana kabar diriku? Sudahkah aku berterima kasih pada diriku sendiri atas semua usaha yang telah aku lakukan? Mengapresiasi diri sendiri adalah salah satu cara kita untuk bersyukur kepada Allah SWT. Terima kasih, ya Allah, atas kesehatan yang Engkau berikan, atas kesabaran yang Engkau tanamkan di hati kami. Dalam musahabah ini, kita menyadari bahwa setiap langkah yang kita ambil, setiap tetes keringat yang kita keluarkan, semuanya adalah bentuk perjuangan yang layak mendapatkan penghargaan.

Pada akhirnya, perjuangan bukan hanya milik mereka yang mengangkat senjata di medan perang. Setiap kita adalah pahlawan dalam hidup kita sendiri. Mereka yang bertahan dalam kemiskinan, yang melawan rindu, yang mempertahankan iman di tengah godaan dunia—semuanya adalah pahlawan dalam arti yang sebenarnya. Perjuangan itu ada di mana-mana, dalam segala bentuk, dan pada setiap individu. Hari Pahlawan adalah waktu untuk menghormati semua perjuangan ini, baik yang terlihat oleh dunia maupun yang hanya diketahui oleh hati kecil kita sendiri. []


Fighting Doesn’t Have to Take Up Arms: Reflections for Heroes’ Day

Every year, as Heroes’ Day approaches, there is an echo that always fills the heart: “heroes, heroes, heroes…” The word seems to invite us to reflect more deeply on the meaning of struggle, on the figures we call heroes. Are heroes only those who fight on the battlefield with sharpened bamboo in their hands? Or can heroes come in various forms, in the midst of our daily lives?

Along with this reflection, one question that is no less important arises: why is there no term “heroine”? If in our language there are male and female writers, male and female bodybuilders, why is there no female equivalent for heroes? Is this fair to women? However, when we dig deeper, we understand that heroes—regardless of gender—are those who fight with great sacrifice, in all forms of struggle, both big and small.

Etymologically, the word “hero” comes from the combination of the words “pahala” and “wan,” which indicate that a hero is someone who fights for good, who deserves a reward for his sacrifice. But that struggle does not always have to look big in the eyes of the world. There are heroes who fight poverty with all its limitations. There are those who fight against the longing that pierces the heart in a foreign land. There are those who fight against lust, and maintain faith amidst the temptations of the world. And there are also those who hope to get the intercession of the Prophet Muhammad SAW by practicing salawat thousands of times a day.

No, we don’t need to take up arms to be called a hero. Everyone can be a hero in their life, in their respective fields of struggle. Those who are born into poverty, for example, must bear a heavy invisible burden. They struggle every day to change their fate, to break through the boundaries imposed by circumstances. When life depends on money, those who don’t have it often have to sacrifice not only their physical, but also their mental. A mentality that sometimes feels fragile, but is still forced to survive, because they know, this struggle is not over.

For many migrant workers, longing is a battlefield that must be passed every day. Missing your hometown, missing the warm embrace of your family, or even missing your mother’s simple cooking. This longing is like a wave that keeps crashing, making us lose our balance. Like Dilan who said, “longing is heavy,” those who live far from their families know how painful this feeling is. Sometimes, just receiving food from home can be a little healing, but it can never really replace the lost togetherness. And even though the longing is so heavy, they persist, because this struggle is part of the responsibility that must be completed until the end of the work contract.

In the midst of physical and mental struggles, there are also those who struggle spiritually. The warriors of the salawat, who hope to receive intercession from the Prophet Muhammad SAW, fight for their worship every day. They recite thousands of salawat in the hope of being able to emulate the life of the Prophet Muhammad. This is a struggle against oneself, against worldly desires, and upholding the Prophet’s sunnah in everyday life.

On the other hand, there is also a more personal struggle, namely fighting lust. Lust often drags us into the slavery of the world, making us continue to pursue more, without ever feeling enough. When our desires are out of control, we forget to be grateful. The trials in this life come in two forms: hardship and pleasure. The trials of hardship often make us quickly aware of our weaknesses, but the trials of pleasure often make us complacent. We say “alhamdulillah” verbally, but not always accompanied by sincere gratitude from the heart and actions.

In the midst of a seemingly endless struggle, we often forget to stop for a moment and talk to ourselves. How am I? Have I thanked myself for all the efforts I have made? Appreciating ourselves is one way we can be grateful to Allah SWT. Thank you, O Allah, for the health that You have given us, for the patience that You have planted in our hearts. In this endeavor, we realize that every step we take, every drop of sweat we shed, are all forms of struggle that deserve appreciation.

In the end, the struggle does not only belong to those who take up arms on the battlefield. Each of us is a hero in our own lives. Those who survive in poverty, who fight longing, who maintain faith amidst the temptations of the world—all are heroes in the true sense. The struggle is everywhere, in all forms, and in every individual. []

(Visited 26 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Marsih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.