Hidup adalah sebuah perjalanan yang penuh warna. Bukan sekadar tujuan yang harus dicapai, melainkan proses yang dipenuhi pengalaman, tantangan, dan penemuan di sepanjang jalan. Ada saatnya kita dipaksa menyerah, merasa putus asa, atau tak berdaya menghadapi keadaan. Namun, di sela-sela itu, selalu ada pelajaran berharga yang tak terduga muncul, seperti halnya yang aku alami suatu sore di Victoria Park, Hong Kong.
Cuaca dingin sore itu tak kuhiraukan. Jarum jam menunjukkan pukul empat, dan langkahku semakin cepat menuju perpustakaan. Waktu liburku hanya sehari dalam seminggu, dan aku selalu merasa waktu tak pernah cukup untuk menyelesaikan semua rencana. Seolah dikejar waktu, aku mengayunkan kaki dengan semangat, meski hawa dingin semakin menusuk.
Di tengah perjalanan, mataku menangkap dua sosok berseragam biru. Mereka berjalan tegap, memantau suasana taman yang ramai oleh pengunjung—baik warga lokal maupun pekerja migran Indonesia yang tengah menikmati hari libur. Ketegasan mereka sebagai polisi Hong Kong begitu kentara, membuatku ragu untuk mendekat. Namun, di dalam hati, ada dorongan kuat untuk menyapa.
Aku teringat artikel yang pernah kutulis tentang polisi Hong Kong. Artikel itu kini menjadi bagian dari buku kecil yang kubawa ke mana-mana. Meskipun gugup, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendekati mereka.
“Permisi, Pak. Bolehkah aku meminta waktunya sebentar?” tanyaku dengan hati yang sedikit berdebar.
Salah satu polisi menoleh dan menjawab ramah, meski tetap terlihat serius, “Iya, ada apa? Ada yang perlu kami bantu?”
Aku mencoba menjelaskan maksudku dalam bahasa Kantonis. “Begini, dulu aku pernah menghadapi masalah besar, dan saat itu aku sangat kebingungan. Dalam keadaan yang serba terdesak, aku tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa. Kebetulan, waktu itu ada polisi Hong Kong yang sedang berpatroli, seperti kalian sekarang. Mereka membantuku dengan tulus, ramah, dan tanpa memandang siapa aku.”
Sambil mendengarkan dengan penuh perhatian, mereka tampak serius, namun tetap hangat. Aku melanjutkan, “Sebagai bentuk rasa terima kasihku, aku menuliskan pengalaman itu dalam sebuah artikel, dan sekarang artikel tersebut menjadi bagian dari buku kecil yang kutulis.”
Aku merogoh tas hitamku dan mengeluarkan buku itu. Kubuka halaman yang berjudul “Hong Kong Police Are Cool”, lalu menunjukkannya kepada kedua polisi tersebut. “Ini adalah buku karya aku sendiri,” kataku sedikit malu.
Salah satu polisi menatapku dengan heran, namun kagum. “Wah, kamu bekerja di sini tapi masih sempat menulis buku? Hebat!” ucapnya.
“Ini yang kulakukan di waktu libur. Menulis adalah caraku belajar dan berbagi,” jawabku.
“Bagus sekali, keren!” sahut polisi lainnya.
Aku pun menyodorkan dua buku itu kepada mereka. “Buku ini untuk kalian. Anggap saja sebagai tanda terima kasihku kepada polisi Hong Kong.”
Namun, jawaban mereka sungguh di luar dugaan. “Maaf, kami sedang bertugas. Kami tidak boleh menerima pemberian dalam bentuk apa pun, termasuk buku. Itu melanggar peraturan,” ujar salah satu dari mereka dengan sopan.
“Tapi ini hanya buku,” balasku mencoba meyakinkan mereka.
Polisi tersebut tersenyum sambil berkata, “Apapun itu, saat kami bekerja, kami harus mematuhi aturan. Kami tidak bisa menerima apa pun. Terima kasih banyak atas penghargaan Anda, tapi kami harus tetap profesional.”
Kedua polisi itu lantas berpamitan, meninggalkanku dengan kesan mendalam. Mereka melambaikan tangan sambil memberikan senyum ramah. Aku pun melanjutkan langkahku menuju perpustakaan dengan hati yang penuh rasa hormat.
Dari pengalaman sederhana ini, aku belajar arti kejujuran dan tanggung jawab. Sebuah pelajaran hidup yang terwujud dalam sikap profesional para polisi Hong Kong. Betapa mereka begitu mematuhi aturan, bahkan untuk hal kecil seperti menolak sebuah buku sederhana.
Aku berpikir, alangkah indahnya jika budaya seperti ini dapat diterapkan secara konsisten di kalangan aparat penegak hukum di tanah air. Tanpa bermaksud membandingkan, aku percaya bahwa sikap jujur dan tanggung jawab seperti ini dapat membawa perubahan besar, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi masyarakat luas.
Oh, sebelum pergi, aku sempat meminta izin untuk berfoto bersama mereka. Dengan senang hati, mereka mengizinkannya.
“Terima kasih, Polisi Hong Kong, atas pelajaran berharga ini,” ucapku dalam hati.
Hari itu, di tengah dinginnya sore, aku pulang dengan hati yang hangat. Aku belajar bahwa kejujuran bukan hanya soal kata-kata, tetapi tindakan nyata yang mencerminkan nilai-nilai luhur manusia. Dari dua sosok berseragam biru, aku menemukan makna kejujuran yang sesungguhnya.