Oleh: Ruslan Ismail Mage

Erin Selia Nawawi, juara satu MTQ Internasional di Qatar dan Aljazair 2023, dalam suatu testimoninya pernah berpesan dengan penuh keteguhan, “Jangan pernah melawan orang tua.” Pesan singkat ini menghunjam sanubari, mengguncang kesadaran, dan membuat pikiranku mengembara jauh ke masa lalu.

Mataku membentuk anak sungai yang mengalir deras ke dalam pikiranku, membawaku kepada dua hal mendalam. Pertama, aku teringat kedua orang tuaku yang kini telah berbaring tenang di sisi Tuhan. Walaupun masa kecilku tak luput dari sikap membantah, aku tetap berusaha memuliakan mereka hingga akhir hayatnya. Alhamdulillah, berkat doa mereka yang tak pernah terputus, aku selalu mendapatkan beasiswa sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan sebelum menuntaskan studi, aku sudah digaji oleh negara sebagai persiapan menjadi akademisi. Terima kasih, ibu dan bapak, getaran doamu telah membelah langit dan mengantarkan putramu ke jalan kehidupan yang penuh berkah.

Kedua, pikiranku tertuju kepada anak sulungku. Sesaat setelah berbuka puasa di hari ke-15 Ramadan, ia tiba-tiba memelukku erat, mencium tanganku, dan berbisik penuh penyesalan, “Maafkan aku, Pak. Selama masa pertumbuhanku dulu, aku sering melawan orang tua.”

Aku terdiam. Ada getar dalam suaranya, ada gumpalan emosi yang ia tahan di dadanya. Ia menyadari bahwa setiap ujian yang tengah dihadapinya saat ini tidak lepas dari sikapnya dahulu yang kadang membuat mata bening ibunya meneteskan butiran kristal. Mungkin ia takut, jangan-jangan air mata yang pernah jatuh dari kelopak mata ibunya dulu kini menjelma menjadi batu kerikil yang menghalangi langkahnya ke depan.

Anakku tidak sedang menghadapi badai kecil. Perusahaan yang ia bangun dari nol, dengan keringat dan air mata, dikhianati oleh orang-orang yang dulu ia percaya. Piutang perusahaan yang mencapai tujuh miliar rupiah tidak dibayarkan oleh salah satu restoran besar, membuatnya harus menempuh jalur hukum untuk menuntut haknya. Namun aku melihat, dalam gelombang besar yang siap menenggelamkan kapalnya, api optimisme dalam dirinya tidak pernah padam. Ia yakin akan menemukan daratan, meski harus berjuang melawan arus yang begitu deras.

Aku teringat nasihat ibunya yang selalu ia pegang teguh: “Apa pun usahamu, jangan pernah mengambil hak orang lain sekecil apa pun. Karena ketika kamu mengambil sesuatu yang bukan hakmu, pasti Tuhan akan mengirim orang lain untuk mengambil hakmu.”

Bismillah, teruslah melaju, anakku. Sebesar apa pun badai yang menerjang kapalmu, selama kau masih mengenakan baju pelampung dari ibumu itu, kau pasti akan selamat melewati badai. Sejak kelahiranmu, Tuhan telah mengutus seorang malaikat ke bumi dalam wujud ibumu, yang akan selalu membelamu tanpa syarat. Dekap terus ibumu, peluk erat orang-orang tulus yang tetap berdiri bersamamu di geladak kapal ini.

Ingatlah, banyak orang yang tersenyum menyapamu, tetapi dalam hatinya mereka justru tertawa melihatmu jatuh. Jangan biarkan mereka menang. Jangan biarkan gelombang yang mereka ciptakan menenggelamkan kapal yang telah kau bangun dengan kerja keras.

Seorang pemimpin besar pernah berkata, “Tidak ada nakhoda tangguh yang lahir dari angin sepoi-sepoi, tetapi dari hantaman gelombang yang datang berkali-kali.” Maka, hadapilah gelombang itu dengan keberanian. Biarkan butiran-butiran kristal yang dulu menetes dari mata ibumu menjadi badai yang akan menenggelamkan para pengkhianat usahamu.

Kau bukan lagi seorang anak kecil yang bersembunyi dari badai, kau adalah seorang nakhoda yang siap mengarungi samudera kehidupan.

*Akademisi dan penulis buku-buku motivasi, kepemimpinan, dan demokrasi.

(Visited 55 times, 3 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.