“Sarmini!” Suara tegas Bu Tuti Riyani, guru bahasa Indonesia kami, menggema di ruang kelas. Saat itu, suasana kelas 8D mendadak hening. Semua mata tertuju padaku.

“Iya, Bu,” jawabku dengan perasaan campur aduk—bingung dan cemas.

“Kamu tidak punya kertas ulangan yang bagus?” tanya Bu Guru dengan sorot mata tajam.

“Maksudnya bagaimana, Bu? Maaf, saya tidak paham,” jawabku, semakin bingung.

“Kertas ulanganmu kucel sekali, kotor,” lanjutnya dengan nada sedikit menegur.

Aku tertegun. Kucel? Kotor? “Kertas ulangan saya bersih, Bu. Ada apa ya, Bu?” Tanyaku masih dalam kebingungan.

Bu Tuti diam sejenak, seolah mencerna keadaanku yang tak tahu apa-apa. Suasana kelas semakin tegang, sepi, seperti semua siswa menahan napas. Tatapan Bu Guru menjelajah wajah-wajah muridnya satu per satu, mencari jawaban yang tak terucapkan. Beberapa teman terlihat gelisah, ada yang pura-pura membuka buku, memainkan pulpen, atau sekadar memperbaiki posisi duduk meski tidak terlalu berantakan.

Tak lama kemudian, Bu Guru beranjak dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju meja siswa, lalu berhenti tepat di depan kelas. Dengan suara tegas, ia berkata, “Yang tadi mengoreksi ulangan Sarmini, siapa?”

Tak ada jawaban. Suasana semakin hening, hanya terdengar derit kursi yang bergeser pelan. Perasaan tegang di udara makin kentara.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Bayu, salah satu teman sekelasku, mengangkat tangannya. “Saya, Bu,” suaranya terdengar lirih, diiringi tatapan malu-malu yang menunduk ke meja.

Suara hembusan napas lega terdengar serentak dari teman-teman sekelas. Tegangan yang tadi begitu berat akhirnya mereda. Posisi duduk yang kaku perlahan melonggar, dan semua siswa bisa kembali bernapas lebih santai.

Bu Tuti menoleh ke arah Bayu. “Bayu, kertas ulangan Sarmini memang seperti ini tadi?” tanyanya, mengacungkan kertas yang kusut itu.

Bayu tampak salah tingkah. “Tidak, Bu,” jawabnya pelan.

“Lalu kenapa bisa jadi seperti ini, Yu?” lanjut Bu Guru dengan nada tegas.

“Saya remas-remas kertas ulangan Sarmini, Bu… lalu saya injak,” jawab Bayu, dengan wajah tertunduk, tangannya masih memainkan pulpen yang dipegangnya.

“Memang kenapa dengan kertas ulangan Sarmini? Ada yang salah?” tanya Bu Guru, semakin ingin tahu.

“Tidak, Bu,” jawab Bayu datar.

Bu Guru terdiam sejenak, lalu kembali ke meja guru. Namun, sebelum duduk, beliau menatapku dengan senyum hangat. “Untung nilainya bagus, sembilan seperempat!” katanya sambil merapikan kertas ulangan yang kusut itu.

Kejadian sederhana itu menorehkan kenangan yang tak terlupakan. Keunikan tingkah laku teman-temanku, dari yang lucu hingga menjengkelkan, semuanya menjadi bagian dari keseharian di sekolah. Seperti drama yang dimainkan dalam kehidupan sehari-hari, masa remaja kami penuh dengan canda tawa, pelajaran, dan kesalahan yang menjadi bagian dari proses pencarian jati diri.


Kenangan itu terasa semakin hangat saat aku mengenang sosok Bu Tuti Riyani, guru bahasa Indonesia kami yang tegas namun murah senyum. Sosok tinggi besar dengan kacamata yang selalu terpasang di wajahnya dan kulit kuning langsatnya yang khas. Kepribadiannya penuh ketelitian dan disiplin, tapi selalu ada senyum ramah yang membuat kami merasa nyaman.

Cara mengajar Bu Tuti begitu unik dan menyenangkan. Meski tegas, pelajaran bahasa Indonesia terasa hidup di tangannya. Kami tak pernah punya alasan untuk mengantuk di kelasnya. Setiap materi yang diajarkan selalu bisa kami pahami dengan mudah. Ketegasannya membuat kami disiplin, tapi caranya yang lembut membuat proses belajar menjadi lebih menyenangkan.


Duhai Guru Hebatku

Melalui tulisan ini, kutorehkan sepenggal kenangan tentangmu, Bu Guru. Maafkan jika pena ini tak mampu mengungkapkan semua kehebatanmu. Namun, izinkan aku menulis sepenuh hati tentang rasa rinduku padamu.

Engkau adalah cakrawala tak terbatas, sumber inspirasi yang akan terus terpatri dalam lubuk hati. Cahaya penerang jiwa, yang dengan tulus menabur benih ilmu tanpa mengharap balasan.

Senyummu adalah semangat bagi kami. Ketegasanmu adalah cambuk kasih sayang. Tak pernah ada lelah di wajahmu, meskipun perjalananmu sebagai guru penuh tantangan. Kau ajarkan kami bukan hanya tentang kata dan bahasa, tapi juga tentang kehidupan.

Awalnya, aku adalah anak yang belum mengerti apa-apa. Namun kini, berkat bimbinganmu, aku bisa menapaki langkah demi langkah dengan penuh keyakinan. Engkaulah cahaya yang menuntun kami.

Kenangan tentangmu tak akan pernah pudar. Meskipun kata-kata tak bisa sepenuhnya menjelaskan, kau akan selalu hidup dalam ingatan kami.


Tulisan ini dipersembahkan untuk Bu Tuti Riyani, guru bahasa Indonesia yang mengajarku di SMP 1 Adipala. Sosok istri dari Bapak Cahyo, yang juga seorang guru di sekolah yang sama. Keteladanan, ketegasan, dan kebaikan hati Bu Tuti akan selalu terpatri di hati kami, murid-muridnya.

Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT, diampuni segala dosa-dosanya, dan ditempatkan di tempat yang paling mulia. Aamiin ya rabbal alamiin.


Grade 8D: Unforgettable Memories with Teacher Tuti Riyani

“Sarmini!” The firm voice of Mrs. Tuti Riyani, our Indonesian language teacher, echoed in the classroom. At that moment, the atmosphere in class 8D suddenly became silent. All eyes were on me.

“Yes, Ma’am,” I answered with mixed feelings—confused and anxious.

“You don’t have a good test paper?” asked the teacher with a sharp gaze.

“What do you mean, Ma’am? Sorry, I don’t understand,” I answered, increasingly confused.

“Your test paper is very rumpled, dirty,” she continued in a slightly reprimanding tone.

I was stunned. Rugged? Dirty? “My test paper is clean, Ma’am. What’s wrong, Ma’am?” I asked, still confused.

Mrs. Tuti was silent for a moment, as if digesting my state of not knowing anything. The atmosphere in the classroom became increasingly tense, quiet, as if all the students were holding their breath. The teacher’s gaze roamed the faces of her students one by one, looking for an unspoken answer. Some of my friends looked restless, some pretended to open books, play with pens, or just fix their sitting positions even though they weren’t too messy.

Not long after, the teacher got up from her seat, walked slowly towards the students’ desks, then stopped right in front of the class. In a firm voice, she said, “Who corrected Sarmini’s test earlier?”

There was no answer. The atmosphere became quieter, only the creaking of chairs moving slowly could be heard. The tense feeling in the air was getting more obvious.

Finally, after a few seconds that felt like forever, Bayu, one of my classmates, raised his hand. “Me, ma’am,” his voice sounded soft, accompanied by a shy look that lowered to the table.

The sound of a sigh of relief was heard simultaneously from my classmates. The tension that had been so heavy had finally subsided. The stiff sitting position slowly loosened, and all the students could breathe more easily again.

Mrs. Tuti turned to Bayu. “Bayu, was Sarmini’s test paper like this?” she asked, holding up the crumpled paper.

Bayu looked embarrassed. “No, ma’am,” he answered quietly.

“Then why did it turn out like this, Yu?” the teacher continued in a firm tone.

“I crumpled Sarmini’s test paper, ma’am… then I stepped on it,” Bayu answered, with his face down, his hand still playing with the pen he was holding.

“What’s wrong with Sarmini’s test paper? Is there something wrong?” the teacher asked, increasingly curious.

“No, ma’am,” Bayu answered flatly.

The teacher was silent for a moment, then returned to the teacher’s desk. However, before sitting down, she looked at me with a warm smile. “Luckily the grades were good, nine and a quarter!” she said while tidying up the crumpled test paper.

That simple incident left an unforgettable memory. The unique behavior of my friends, from the funny to the annoying, all became part of everyday life at school. Like a drama played out in everyday life, our teenage years were full of laughter, lessons, and mistakes that were part of the process of finding our identity.


The memories feel even warmer when I remember the figure of Mrs. Tuti Riyani, our strict but smiling Indonesian teacher. A tall figure with glasses always on her face and her distinctive yellow skin. Her personality is full of precision and discipline, but there is always a friendly smile that makes us feel comfortable.

Mrs. Tuti’s teaching style is so unique and fun. Although strict, Indonesian lessons feel alive in her hands. We never have a reason to be sleepy in her class. Every material taught can always be easily understood. Her strictness makes us disciplined, but her gentle way makes the learning process more enjoyable.


Oh My Great Teacher

Through this writing, I write a piece of my memory about you, Teacher. Forgive me if this pen is unable to express all your greatness. However, allow me to write with all my heart about my longing for you.

You are the limitless horizon, a source of inspiration that will continue to be imprinted in the depths of my heart. The light that illuminates the soul, who sincerely sows the seeds of knowledge without expecting anything in return.

Your smile is our spirit. Your firmness is a whip of affection. There is never any tiredness on your face, even though your journey as a teacher is full of challenges. You teach us not only about words and language, but also about life.

Initially, I was a child who did not understand anything. But now, thanks to your guidance, I can tread step by step with full confidence. You are the light that guides us.

Memories of you will never fade. Although words cannot fully explain, you will always live in our memories.


This writing is dedicated to Mrs. Tuti Riyani, the Indonesian language teacher who taught me at SMP 1 Adipala. The wife of Mr. Cahyo, who is also a teacher at the same school. Mrs. Tuti’s exemplary behavior, firmness, and kindness will always be engraved in the hearts of us, her students.

May his deeds of worship be accepted by Allah SWT, all his sins will be forgiven, and placed in the most noble place. Amen, Lord, experience it.

(Visited 32 times, 1 visits today)
Avatar photo

By Sarmini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.